Sabtu, 17 Mei 2008

Penghantaran Ketidaksamaan/Perbedaan

Umumnya kita tidak benci ketika seseorang memperoleh banyak kekuasaan jika itu diperoleh karena usaha keras atau bakat yang luar biasa. Tetapi ketidaksamaan menjadi jauh kurang tertolerir jika ia didasarkan pada kekayaan atau status warisan. Namun salah satu naluri pertama dari seseorang yang punya kontrol atas kekuasaan adalah mencoba mewariskannya kepada keluarga dan para keturunan. Usaha ini juga adalah suatu naluri adaptif tua yang menjadi lebih besar dalam perjalanan evolusi budaya. Selama kita bisa meninggali keturunan kita hanya gen-gen kita, perbedaan-perbedaan dalam apa yang anak mana pun bisa warisi adalah minimal, dan terbatas pada lingkup variasi-variasi fisik yang ada dalam kumpulan gen. Satu anak lelaki akan relatif lebih kuat daripada lainnya, satu anak perempuan lebih awas daripada kawan-kawannya, tapi itulah keberuntungan.

Ketidaksamaan riil, dan perasaan iri dan cemburu yang menyertai, muncul ketika unsur-unsur kekuasaan mulai diwariskan melalui warisan budaya. Salah satu cara paling awal menghimpun sumberdaya dan meningkatkan kekuasaan seseorang adalah melalui praktik-praktik perkawinan selektif. Para pria kaya dan kuasa mengawini para wanita dari keluarga-keluarga kaya dan kuasa, dus menjamin bahwa anak-anak mereka akan memulai hidup dengan kelebihan-kelebihan. Selama sejenis mengawini sejenis, ketidaksamaan tidak saja dilestarikan tapi ia juga menjadi terbesarkan seiring tiap generasi. Pikiran untuk menjaga kekuasaan di dalam keluarga seseorang pada akhirnya membawa pada praktik-praktik terbakukan yang mendorong pembelahan sosial. Contohnya, bangsa Romawi dilarang oleh hukum untuk mengawini orang-orang ‘provincial’ agar tidak melemahkan peringkat “warga” yang dinilai tinggi.

“Perkawinan selektif” terus menjadi suatu amal yang sangat kuat. Sejenis masih condong mengawini sejenis sepanjang menyangkut penghasilan, pendidikan, pilihan-pilihan politik, agama, dan ras. Mungkin akibat-akibat terpenting dari kecenderungan ini bukanlah pada gen-gen yang akan keturunannya warisi, tetapi pada meme-memenya. Seorang anak yang terlahir pada sepasang suami-istri kulit putih yang terdidik dan berada akan belajar nilai-nilai berbeda dan mengembangkan suatu konsep-diri berbeda dari seorang anak yang serupa secara genetik yang terlahir pada pasangan antarras dari kedudukan sosial yang sama, atau pada pasangan dengan tingkat pendidikan dan penghasilan berbeda. Semakin homogen latar belakang pasangan itu, semakin meme-meme si anak condong menyerupai meme-meme orangtuanya.

Karena sebagian meme terpenting—worldview (pandangan-dunia) dan nilai-nilai dasar—dihantarkan melalui keluarga, tentu bahwa, seiring waktu, perkawinan selektif menghasilkan padanan dari cultural speciation, di mana para anggota kelompok-kelompok sosial menjadi terbedakan dan bahkan terpisahkan karena latar belakang budaya mereka. Proses ini membuat praktis mustahil bagi seorang pria Amish untuk mengawini seorang gadis Katholik, atau bagi seorang liberal ekstrim mengawini seorang konservatif loyal—hampir seolah-olah mereka masuk dalam spesies berbeda yang tidak bisa kawin dengan satu sama lain karena mereka secara biologis tidak sama. Selama perkawinan selektif menjaga meme-meme tetap terpisahkan, budaya-budaya itu terus tetap berbeda, dan anak yang terlahir pada pasangan liberal akan belajar untuk memandang keturunan kaum konservatif sebagai seorang makhluk asing yang berpotensi musuh.

Tentu, praktik-praktik perkawinan bukan satu-satunya jalan untuk menjaga kekuasaan tetap dalam keluarga dan untuk mewariskannya kepada keturunan kita. Hukum-hukum pajak dan warisan telah selalu berperan penting dalam politik karena mereka menentukan sejauh mana kekuasaan ekonomi akan dipusatkan atau disebarkan. Salah satu hukum pertama yang disahkan kaum Komunis setelah naik berkuasa di Rusia adalah untuk melarang orangtua meninggalkan harta kepada anak-anak mereka, agar semua warga akan mengawali hidup atas pijakan yang sama. (Sayangnya, para fungsionaris Komunis yang kuasa segera menemukan suatu cara untuk merongrong hukum itu, dan nepotisme menjadi hampir sama maraknya dalam Uni Soviet seperti keadaannya di bawah Tsar.)

Selama 1980-an, di bawah pemerintahan Reagan, perubahan-perubahan dalam hukum-hukum pajak meningkatkan perbedaan ekonomi di Amerika sampai derajat yang mencengangkan, yang membuat si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin. Ketika kontrol atas sumberdaya menjadi sangat terpecah, golongan kaya, sekalipun dengan niat terbaik, menjadi para penindas de fakto. Mereka tak perlu secara aktif berusaha untuk mencegah para kawan mereka yang kurang mampu dari mendapatkan pendidikan yang baik atau tinggal dalam lingkungan yang baik; tangan tak-tampak dari pasar akan melakukannya bagi mereka.

Kembali ke pertanyaan apakah eksploitasi tidak terelakkan, kita harus menyimpulkan bahwa sejumlah ketidaksamaan dalam akses ke sumberdaya, dalam kontrol terhadap energi psikis, dan dalam kemampuan untuk mempengaruhi bentuk budaya masa depan adalah memang tak bisa dihindari. Dalam segala sistem sosial kompleks, sebagian individu akan lebih layak, oleh temperamen, pelatihan, atau latar belakang, untuk menduduki posisi-posisi tertentu daripada orang-orang lain.

Dalam organisasi-organisasi besar seperti Motorola atau Nisan, yang masing-masing mempekerjakan sekitar 10.000 teknisi, beberapa insinyur akan lebih cakap daripada lainnya untuk menerapkan ketrampilan mereka pada peluang-peluang yang tersedia dalam perusahaan mereka masing-masing. Mereka akan dibayar lebih baik dan maju lebih jauh, dan ide-ide mereka akan dimasukkan dalam produk-produk baru. Para sejawat yang tertinggal akan iri pada mereka, dan banyak yang akan tak menyukai fakta bahwa mereka harus bekerja pada mereka. Tiap organisasi boleh dibilang memilih yang “paling layak” di antara para pegawainya. Namun, penting disadari bahwa kelayakan macam itu tidak didasarkan pada suatu kelebihan mutlak yang dimiliki para insinyur yang sukses itu. Orang yang sukses sampai ke puncak di Motorola mungkin seorang pecundang di Nissan, dan sebaliknya. Satu himpunan ketrampilan mungkin cocok dengan satu budaya perusahaan, suatu iklim ekonomi tertentu, suatu strategi pemasaran spesifik, tapi bukan lainnya.

Meskipun sebagian orang akan selalu sukses dalam menguasai lebih banyak sumberdaya daripada orang-orang lain, apakah kekuasaan itu tentu membawa pada eksploitasi? Mungkin benar bahwa kecuali kita mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya, kendali atas sumberdaya akan cenderung menyebabkan kontrol terhadap orang-orang lain. “Kewaspadaan abadi,” kata Jefferson, “adalah harga dari kebebasan.” Ini menyiratkan, antara lain, bahwa jika kita tidak cermat atau waspada, kebebasan kita untuk melepaskan energi psikis akan terlemahkan.

Tabungan kita, hasil dari bertahun-tahun kerja, akan kehilangan nilainya jika orang-orang yang mengeluarkan lebih banyak daripada penghasilan mereka menyebabkan suatu inflasi. Pekerjaan kita mungkin tiba-tiba dihentikan karena para investor bisa meraih laba lebih tinggi dengan memproduksi di sebuah negara dunia-ketiga. Nilai dari sebidang mungil real estate kita akan berfluktuasi bergantung pada jual-beli dari para pemilik atau tuan tanah besar. Semua ini bisa terjadi tanpa segala kebencian atau niat-niat buruk terkecil pun; memang begitulah pasar bekerja, saat ia dimanipulasi-sebagaimana ia selalu—oleh mereka yang memiliki suatu jatah besar darinya.

Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah ini terjadi? Kembali, seperti dengan sumber-sumber ilusi, langkah pertama adalah hanya menjadi sadar akan kondisi-kondisi sebenarnya. Apakah seseorang sedang menggunakan energi anda tanpa balasan setimpal? Bos anda, istri/ suami anda, perusahaan listrik, pemerintah? Menelaah secara terperinci siapa atau apa yang ada dalam posisi untuk menentukan cara anda meluangkan waktu anda, dan karena itu mengontrol isi dari kesadaran anda, adalah awal yang bagus. Langkah selanjutnya adalah memikirkan apakah anda ingin situasi ini berlanjut, atau tidak. Kalau tidak, bisakah anda berbuat sesuatu tentang itu, dan akan apa akibat-akibat dari tindakan-tindakan anda?

Sejak permulaan sekali sejarahnya, Amerika telah menarik orang-orang yang telah tertindas di negara-negara asal mereka, dan telah memutuskan untuk mengendalikan nasib mereka sendiri. Bagi para pemukim Inggris awal yang lari dari penganiayaan agama, kaum Irlandia yang lari dari kelaparan, kaum Polandia yang tak mau berperang untuk Tsar Rusia, bagi orang-orang Asia Tenggara yang lari dari teror Komunis, Amerika Serikat adalah sebuah tanah tempat orang bisa menghasilkan nafkah dan bebas. Dari perspektif evolusi, penduduk Amerika Serikat kebanyakan adalah sekumpulan individu itu, dari antara penduduk dunia, yang telah menolak untuk dieksploitasi. Dus meme untuk kebebasan telah menjadi terpusat atau kental dalam budaya Amerika, dan ini, lebih daripada segala sifat lainnya, menentukan keunikannya.

Namun, walaupun mereka tak punya Tsar-Tsar, eksploitasi tidak sama sekali absen dari masyarakat mereka. Dan mereka yang tidak merasa mengendalikan hidup mereka di sana tak bisa beremigrasi ke tempat lain, karena tidaklah mungkin mereka akan temukan sebuah negara tempat derajat kebebasan pribadi akan lebih besar daripada apa yang sudah mereka miliki. Jadi pilihannya adalah apakah menemukan suatu gaya hidup berbeda dengan lebih sedikit kekangan, atau melawan—bergantung pada jalan mana yang memberikan kebebasan terbanyak untuk pengerahan energi psikis paling kecil.

Satu jalan menangani suatu situasi menindas dilukiskan oleh kasus Jeff, seorang manajer di sebuah perusahaan daya, yang bertanggung jawab atas distribusi listrik dalam suatu wilayah Barat yang berpenduduk padat. Dia telah maju pesat di perusahaan itu, sebagian karena ketrampilannya, sebagian karena dia mau menghabiskan 60 sampai 70 jam tiap minggu pada pekerjaannya. Pada usia 40 Jeff menerima gaji yang lebih tinggi daripada segala yang dia pernah harapkan, dan masih tersisa satu atau dua kemungkinan promosi jabatan jika dia mau terus menanamkan waktu dan energi pada tingkat yang dikehendaki. Tapi dua juga punya istri dan 3 anak yang jarang dia lihat. Jeff mulai merasa bahwa seluruh hidupnya mengalir ke dalam pekerjaannya, dan ini tak lagi nampak masuk akal. Dia mencoba berbicara kepada atasan-atasannya untuk menentukan apakah dia bisa memangkas beban kerjanya, tapi diberitahu bahwa kebijakan perusahaan mengharuskan komitmen penuh dari para eksekutifnya. Jadi Jeff mulai mencari alternatif-alternatif, dan kini dia menjalankan sebuah waralaba peralatan-outdoor, meluangkan berjam-jam tiap minggu di rumah membetulkan rumah Victoria tua yang dia dan istrinya beli, dan sering bisa dijumpai di sebuah kali sekitar sedang memancing dengan anak-anaknya.

Solusi Jeff tampaknya telah manjur baginya, dan bagi ribuan orang lain dalam situasi serupa yang telah memilih keluar dari perangkap karir. Itu bukan solusi terbaik bagi semua orang, tapi ia adalah contoh suatu solusi yang layak ketika kita mulai merasa terekploitir oleh pekerjaan kita. Intinya tidak boleh ditekan menjadi kepercayaan bahwa anda tidak berdaya. Adalah demi kepentingan mereka yang mengendalikan energi kita untuk membuat nampaknya bahwa status quo adalah alami, benar, dan mustahil diubah. Adalah demi kepentingan kita untuk mengerti bahwa ini tidak selalu benar.

Kamis, 15 Mei 2008

Perbedaan-Perbedaan Individu Dalam Kekuasaan

Eksploitasi tidak berkembang hanya atas perbedaan-perbedaan dalam gender dan usia. Setiap pria berbeda dari para pria lain dari segi sekumpulan variasi yang nyaris tak terhitung, dan begitu pun setiap perempuan berbeda dari para perempuan lain. Sifat-sifat apa yang seseorang kebetulan warisi akan mempermudah atau mempersulitnya untuk memelihara kebebasannya dari pelanggaran kehendak-kehendak orang-orang lain.

Apa pun yang Declaration of Independence mungkin telah berarti oleh kebenaran yang nyata bahwa semua orang tercipta sama sederajat, ia bisa tidak berarti bahwa ini berlaku dari segi anugerah alami. Meski adalah suatu tujuan sosial yang layak untuk menganggap bahwa semua orang punya hak-hak yang sama terhadap faedah-faedah sosial tertentu, kesamaan mereka dari segi kesehatan, kekuatan, kemenarikan jasmani, kecerdasan, pigmentasi kulit, temperamen, dan karakter atau watak—di antara sifat-sifat lain—nampak sebaliknya.

Dan dalam setiap masyarakat perbedaan-perbedaan itu digunakan sebagai penunjuk kekuasaan. Dalam masyarakat-masyarakat berburu kegesitan atau kelincahan fisik digabung dengan kecermatan akan mengangkat seorang pria ke posisi pemimpin; di kalangan kaum Hun dan Tartar para visioner bengis dipandang tinggi; kecerdasan, kependiaman, dan keteguhan memungkinkan para pria naik ke puncak dalam birokrasi-birokrasi besar Cina dan Timur Tengah. Dalam budaya Barat, masyarakat cenderung mempromosikan para pegawai yang “agresif” tapi riang, kreatif namun patuh. Dalam setiap budaya, penampilan yang baik dan sifat ekstrovert menambah kemampuan seseorang untuk menarik perhatian orang-orang lain, dan karena itu berpotensi untuk mengendalikan mereka.

Kualitas-kualitas pribadi bukan satu-satunya alasan mengapa satu orang menjadi lebih kuasa daripada orang lain. Kemujuran juga berperan penting. Berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat sering menjelaskan mengapa usahawan yang satu ini yang menjadi kaya ketimbang usahawan lain, mengapa fisikawan yang ini memenangkan Hadiah Nobel atau jenderal ini yang memenangkan perang. Claudius gagap dan pincang, dan walaupun dia berdarah ningrat, tak ada orang di Roma bermimpi dia suatu hari akan menjadi seorang kaisar. Mujur baginya semua kerabatnya adalah maniak pembantai-orang, yang dengan rajin saling melenyapkan nyawa hingga hanya dia yang tertinggal untuk memikul beban itu.

Namun, di luar kemujuran, mungkin faktor yang paling membantu menentukan kemudahan seseorang akan mendapat kekuasaan dan meningkatkan peluangnya mempengaruhi masa depan adalah kepribadian. Meskipun para psikolog sama sekali tidak bersuara bulat dalam menyepakati apakah ada sifat-sifat yang membantu seseorang untuk secara seragam sukses dalam bidang-bidang kehidupan yang berbeda, nampak jelas bahwa jika anda seorang ekstrovert, memiliki self-esteem (harkat-diri) yang kuat, dan memandang dunia dengan optimisme, anda akan lebih berpeluang menjadi sukses dan menjalani hidup yang memuaskan. Sebagian dari sifat-sifat ini nampaknya temperamental, yaitu, banyak ditentukan oleh warisan genetik; di sisi lain, semua sifat itu bisa dipengaruhi sejauh tertentu oleh lingkungan dini. Seorang anak yang saat lahir condong untuk menjadi seorang optimis bisa berubah jadi orang dewasa penakut jika diperlakukan dengan kejam.

Satu sifat yang mapan adalah “kekuatan kepribadian,” yang dikaji selama bertahun-tahun oleh peneliti survei Jerman Elisabeth Noelle-Neumann. Orang-orang berangka tinggi pada sifat ini (yang terkait juga dengan sifat ekstrovert dan harkat-diri) cenderung lebih aktif dan sukses secara pribadi dan secara profesional daripada orang-orang yang rendah pada skala ini. Mereka juga cenderung mengambil posisi-posisi kepemimpinan dan pengaruh, khususnya orang-orang pada anak-anak tangga lebih rendah dari tangga sosioekonomi. Dengan kata lain, bagi mereka yang kaya dan terdidik baik, kepribadian kuat bukan suatu penentu yang sama krusialnya seperti bagi mereka yang miskin dan kurang terdidik, karena kekayaan dan status akan mengimbangi kepribadian yang lemah. Tapi jika anda miskin, kepribadian yang kuat membantu untuk maju dalam hidup.

Pribadi kuat dari semua golongan bersifat ingin tahu, mencoba banyak hal baru, dan senang mempengaruhi orang-orang lain, dus sangat dibekali untuk mempengaruhi evolusi meme-meme, karena kepercayaan-kepercayaan, ide-ide, dan kebiasaan-kebiasaan mereka akan diwakili lebih sering pada masa depan. Satu temuan yang membesarkan hati dari studi-studi ini adalah bahwa orang-orang dengan kepribadian kuat tampak kurang mementingkan diri dan lebih peduli atau perhatian dengan membantu orang-orang lain daripada mereka yang kepribadiannya kurang kuat. Nyatanya apa pun sifat yang menjadikan sukses dan pengaruh juga mencakup suatu rasa tanggung jawab terhadap komunitas.

Namun, sering sekali ketika seseorang mencapai suatu posisi kekuasaan, menjadi mudah untuk memanfaatkannya. Apakah itu kemujuran, kecerdasan, atau kekuatan kepribadian yang mendorong seseorang ke suatu posisi terhormat dalam sistem sosial, peluang-peluang untuk menghemat energi psikis dengan mengorbankan orang-orang lain hampir tak bisa ditahan. Si usahawan sukses menganggap jelas bahwa waktunya lebih berharga daripada waktu sopirnya, sekretarisnya, kawan-kawannya yang kurang beruntung, atau istri dan anak-anaknya. Kenapa dia perlu sangat memikirkan orang-orang yang kurang layak ini? Dan mengapa dia tidak seharusnya menerima lebih banyak uang bagi upaya-upayanya, jauh lebih banyak uang daripada yang bisa dibayangkan kebanyakan orang?

Para politisi kuasa mulai percaya bahwa aturan-aturan yang mengikat orang-orang yang kurang terpandang terhadap kontrak sosial tidak berlaku bagi mereka juga. Presiden AS Nixon dan para pengikutnya menganggap diri di atas hukum, tapi mereka tentu amatir dibandingkan dengan raja-raja dalam kebanyakan masyarakat lain. Para akademisi terhormat tergoda untuk mengeksploitir para mahasiswa sarjana, sementara para seniman kondang menemukan mereka bisa bebas dari kesopanan sosial dan menganiaya kaum borjuis.

Untungnya selalu ada perkecualian-perkecualian untuk menunjukkan bahwa korupsi tidaklah tak terhindarkan. Prestasi-prestasi besar yang berani patut dipuji, begitu pun sumbangsih-sumbangsih berguna pada sains dan masyarakat, tetapi pencapaian manusia paling mengagumkan adalah menahan diri dari menyalahgunakan hak-hak istimewa kita.

Apakah konflik berdasarkan perbedaan-perbedaan individu tidak terelakkan? Mungkin ya. Dalam evolusi suatu perubahan positif bisa terjadi hanya jika ada seleksi, dan seleksi bekerja hanya ketika perbedaan-perbedaan ada antara orang-orang—yaitu, jika satu sifat lebih mampu beradaptasi terhadap lingkungan daripada sifat-sifat lain. Selama semua orang bertahan hidup sama baik, dan menghasilkan jumlah keturunan yang sama, tidak akan ada apa-apa untuk dipilih, dan setiap generasi akan tampak seperti generasi sebelumnya. Perbedaan-perbedaan adalah titik awal dari seleksi, dan karena itu dari perubahan evolusioner.

Karena itu, hampir semua biologiwan evolusi menekankan pentingnya persaingan antara orang-orang berbeda sebagai mesin yang menggerakkan evolusi. Namun, persaingan tidak perlu melibatkan agresi atau eksploitasi, atau bahkan konflik laten, karena dari sudut evolusi, persaingan sekedar mengacu pada fakta bahwa sebagian organisme berkembang biak secara lebih sukses daripada organisme-organisme lain. Bahkan kerjasama bisa jadi suatu strategi persaingan yang sangat efektif, yang menjelaskan mengapa sistem-sistem sosial yang diikat oleh hukum-hukum dan pembagian kerja telah berkembang di mana-mana di bumi. Tapi kita tidak perlu terlalu merisaukan bagaimana konflik dan persaingan mempengaruhi evolusi biologi. Pertanyaannya adalah bagaimana mereka mempengaruhi evolusi manusia secara keseluruhan, dan itu masa ini menyangkut terutama perubahan-perubahan dalam cara-cara berpikir—putusan-putusan yang kita ambil atas dasar tujuan-tujuan dan kepercayaan-kepercayaan kita.