Selasa, 22 April 2008

Prinsip Probabilisme

Allah adalah sebab dari segala sebab atau Sebab Pertama (Prima Causa). Puncak terakhir rangkaian sebab-akibat adalah Tuhan.

“Dan pada Tuhan engkaulah terletak keputusan terakhir.” (53: 43)

Segala kejadian di alam semesta ini terjalin oleh rangkaian sebab dan akibat. Karena itulah muncul berbagai cabang ilmu pengetahuan, karena tiada bagian alam semesta ini lepas dari rangkaian itu. Beberapa cabang ilmu berfungsi sebagai landasan bagi cabang-cabang lain, dan beberapa cabang lain berguna hanya sebagai embel-embel. Suatu sebab terwujud karena zatnya sendiri atau bergantung pada suatu sebab lain; sebab yang terakhir ini lalu bergantung pada sebab yang lain lagi, dst. Tidak bisa dibenarkan bahwa di dunia yang serba terbatas ini, rangkaian sebab-akibat tidak mempunyai kesudahan atau tidak berhingga. Kita harus mengakui bahwa rangkaian ini pasti berakhir pada suatu sebab terakhir.

Menguatkan prinsip ini adalah firman Tuhan:

“Bukankah Aku Tuhanmu? Mereka (roh) berkata, ‘Ya, betul.’” (7:173

Di dalam ayat ini Allah menerangkan, dalam bentuk percakan, ciri khas roh yang ditanamkan Tuhan dalam fitratnya. Ciri khas itu ialah bahwa pada fitratnya tiada satu pun roh yang menolak adanya Tuhan. Hanya orang-orang yang ingkar menolak kenyataan itu. Meskipun menolak, mereka mengakui bahwa setiap kejadian pasti ada sebabnya.

Di dunia ini tidak ada orang yang ketika badannya merasa sakit demikian bodohnya berpendapat dan dengan gigih mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang menyebabkan penyakit itu.

Seandainya wujud dunia ini tidak dijalin oleh rangkaian sebab-akibat, kita tidak mungkin bisa membuat ramalan bahwa pada tanggal sekian akan datang badai, akan terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, atau seseorang yang sakit pada waktu tertentu akan menemui ajal, atau penyakit akan menjangkiti seseorang.

Jadi, walaupun seorang ilmuwan tidak mengakui adanya Tuhan, dari satu segi ia pun mengakui bahwa ia juga berusaha mencari solusi tentang sebab dan akibat. Ini pun merupakan satu bentuk pengakuan, meskipun bukan pengakuan sempurna.

Tuhan juga memberikan akibat dari perbuatan manusia. Artinya, bila manusia melakukan suatu perbuatan, Tuhan pun melakukan perbuatan yang setimpal dengan perbuatan manusia. Misalnya, jika seseorang menutup semua pintu kamarnya, Tuhan pun akan menciptakan kegelapan di dalam kamar itu. Begitu pun, umpamanya, setelah seseorang memakan racun berbahaya, segera menyusul perbuatan Tuhan, yaitu Dia mencabut nyawa orang itu. Atau setelah seseorang melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang bisa mendatangkan penyakit menular (misalnya sipilis) segera perbuatan Tuhan menyusul, yaitu orang itu akan terjangkit penyakit menular.

Karena segala sesuatu yang ada dalam ruang lingkup kodrat Tuhan telah ditakdirkan merupakan akibat dari segala amal perbuatan kita, semua itu pada hakikatnya merupakan perbuatan Tuhan karena Dia-lah yang merupakan sebab dari segala sebab.

Prinsip Harmonisme Berpusat-Kenabian

Manusia merupakan titik pusat alam semesta karena kejadian manusia merupakan tujuan akhir penciptaan tatasurya. Dalam berbagai zaman masing-masing manusia beredar di sekitar nabi mereka masing-masing. Kemudian semua nabi beredar di sekitar Muhammad Rasulullah saw., dan beliau pada gilirannya beredar terus sambil membawa seluruh alam, di bawah bimbingan beliau, kepada Tuhan sehingga alam semesta dibawa kepada kesempurnaannya.

Tuhan berkehendak mewujudkan suatu alam semesta yang harus merupakan penjelmaan keagungan dan nur-Nya. Unsur inilah yang menjadi sebab terciptanya alam semesta. Tuhan menciptakan seluruh langit dan bumi dalam 6 masa. Sebelum itu Tuhan berdaulat di atas air. Tujuan Tuhan menciptakan seluruh langit dan bumi dari air ialah menciptakan suatu makhluk yang dibekali kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Makhluk-makhluk itu akan melalui cobaan demi cobaan dan akan berusaha berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan untuk menunjukkan siapa di antara mereka yang telah mencapai kesempurnaan (11:8). Ayat ini memperlihatkan bahwa sebelum zat mencapai bentuknya sekarang, ia berwujud cairan. Artinya, alam semesta mula-mula dijadikan dari atom-atom hidrogen murni atau air, lalu berkembang secara bertahap.

Seluruh langit dan bumi mula-mula merupakan sebuah massa yang tak berbentuk. Tuhan lalu memecahnya menjadi suatu formasi tatasurya. Kemudian Tuhan menciptakan kehidupan dari air. Alam rohani berkembang melalui proses serupa, yaitu Tuhan memecah massa zat dan pecahan-pecahannya yang berserak membangun gugusan tatasurya. Dengan begini Tuhan menciptakan perubahan-perubahan besar di alam semesta rohani.

Jika keadaan rohani umat manusia mengalami kemunduran dan suasana alam kerohanian menjadi pekat dan menyesakkan, Tuhan menerbitkan cahaya yang menyebabkan semacam kegaduhan dan kegoncangan di alam kegelapan sehingga dari massa yang tampaknya tidak berjiwa itu suatu tatasurya rohani yang bergerak abadi tercipta dan mulai menyebar dari pusat sehingga pada akhirnya meliputi seluruh negeri atau seluruh dunia, sesuai dengan tenaga penggerak yang ada di belakangnya.

Sebagaimana alam kebendaan yang mula-mula tercipta dari air, alam kerohanian juga terwujud dari air rohani, yaitu wahyu. Alam semesta berkembang secara bertahap untuk sampai ke suatu bentuk dan memiliki khasiat-khasiat yang bisa menunjang kehidupan manusia. Setelah tatasurya terbentuk, Tuhan menciptakan manusia dalam alam semesta kebendaan agar ia menjadi manifestasi sifat-sifat Tuhan dan menjadi cermin pemantul citra keindahan Tuhan dan menjadi landasan alam semesta rohani.

Makhluk ciptaan Tuhan tak terhitung jenisnya. “Dan tidak ada yang mengetahui laskar-laskar Tuhan engkau selain Dia” (74:32). Namun, makhluk manusia menempati peringkat tertinggi dan terhormat dari sekalian makhluk sebab ia memiliki peran sebagai cermin yang memantulkan sifat-sifat Tuhan. Karena itulah manusia disebut sebagai alam semesta dalam bentuk kecil karena ia memiliki sifat segala makhluk. Sebuah peta, meski berukuran kecil, memuat semua ciri khas atau fitur dari daerah yang diwakilinya. Begitu pun di alam jasmani manusia tergambar segala ciri khas alam semesta.

Karena manusia adalah titik pusat alam semesta, manusia menguasai segala makhluk dan tiada bagian alam semesta yang menguasainya. Manusia memang dipengaruhi oleh cuaca, oleh cahaya bintang-bintang dan planet-planet, oleh guntur dan petir, oleh topan dan badai, oleh wabah penyakit, namun ia sedikit pun tidak dibawahi mereka. Yang memerintah memang sering mendapat pengaruh dari yang diperintah, namun tidak sulit membedakan siapa yang memerintah dan siapa yang diperintah. Jadi, manusia memerintah sungai-sungai, samudera-samudera, gunung-gunung, angin, guruh, hujan, tumbuh-tumbuhan, obat-obatan, dll.

Tuhan menciptakan manusia melalui tingkatan demi tingkatan, keadaan demi keadaan. Ia tidaklah tercipta sekaligus sempurna, melainkan melalui proses.

“Dan sesungguhnya, Dia telah menciptakan kamu dengan keadaan yang berbeda-beda” (71:15)

Sebagaimana tubuh, akal manusia pun berkembang secara bertahap. Ketika perkembangan akal umat manusia telah mencapai taraf sempurna di mana mereka mampu membentuk masyarakat dan hidup dalam tatanan yang tertib, Tuhan menurunkan wahyu-Nya kepada orang terbaik dari umat itu, yaitu Adam. Adam adalah manusia pertama yang keadaan akalnya sudah mempunyai kesanggupan menerima wahyu dan sanggup memikul kewajiban yang dituntut oleh wahyu itu.

Wahyu itu terbatas sekali pada beberapa kaidah kemasyarakatan yang jelas dan sederhana yang mencerminkan beberapa sifat Tuhan. Mereka yang rasa sosialnya belum berkembang penuh menolak tunduk kepada Adam. Tuhan menamai mereka jin yang secara harfiah berarti orang-orang yang hidup tersembunyi. Ini karena manusia pada waktu itu hidup di dalam gua-gua dan hutan-hutan yang lebat.

Ketika Adam dan kaumnya keluar dari “taman firdaus” untuk membentuk suatu masyarakat, Tuhan memperingatkan Adam dan kaumnya agar waspada terhadap iblis, yang adalah salah seorang di antara jin-jin, dan kaumnya sebab mereka semua akan hidup bersama-sama di muka bumi ini dan di bumi ini juga mereka akan mati (7:26-28).

Selanjutnya Tuhan menetapkan bahwa nabi-nabi akan selalu muncul dan orang-orang yang percaya kepada nabi-nabi akan disamakan keadaannya seperti Adam dan kaumnya. Mereka yang menolak nabi-nabi akan disamakan keadaannya dengan jin yang menentang Adam.

Setiap nabi dibangkitkan untuk membantu manusia meniti kemajuan dalam evolusi akal dan rohani. Mereka yang menentang tingkat evolusi berikutnya dan tidak bersedia tunduk kepada pembatasan-pembatasan serta peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan dengan perantaraan nabi-nabi untuk membantu kelancaran proses evolusi menolak nabi-nabi.

Senin, 21 April 2008

Eksploitasi Kaum Wanita dan Anak

Penindasan dan eksploitasi dihasilkan dari perbedaan-perbedaan dalam kekuasaan, kekayaan, atau status sosial. Sejumlah perbedaan kekuasaan tercipta melekat ke dalam susunan atau struktur biologis kita, dan karena itu lebih mudah membawa pada penindasan. Kalau dalam banyak spesies serangga kaum betinanyalah yang punya kelebihan-kelebihan—kaum jantan sering hidup hanya cukup lama untuk kawin, sedangkan kaum betina mempunyai karir yang panjang dan beragam—di kalangan mamalia kelebihan-kelebihan fisik itu cenderung berjalan ke arah berlawanan.

Contohnya, dalam banyak spesies mamalia kaum jantan cenderung jauh lebih besar dan lebih kuat daripada kaum betina. “Dimorfisme seksual” ini tampaknya mempunyai suatu nilai adaptif. Kaum jantan mengkhususkan diri dalam melindungi yang muda, karena itu mereka perlu kuat; jika kaum betina menghabiskan kebanyakan waktu mereka merawat anak-anak, mereka dibenarkan untuk lebih kecil dan kurang mengancam. Seandainya kedua jenis kelamin besar, lebih banyak makanan akan diperlukan untuk menjaga semuanya tetap bugar, sehingga dalam kondisi-kondisi kelangkaan lebih mudah bagi spesies yang secara seksual dimorfis untuk bertahan hidup. Manusia, seperti kebanyakan mamalia lain, masuk ke pola ini.

Sayangnya pembedaan fisik yang beberkat ini, yang seharuskan sama-sama memberi manfaat pada kaum pria dan kaum wanita, bisa dengan mudah dirusak. Dalam banyak masyarakat, kelebihan kekuasaan fisik yang dimiliki kaum pria dieksploitasi untuk memberi mereka kendali terhadap kehidupan kaum wanita. Di banyak Asia sistem patriarki menyisakan kaum wanita dengan sedikit pilihan terhadap nasib mereka sendiri. Pembunuhan bayi di Cina dan bagian-bagian lain dunia masih agak lazim, dan bayi-bayi perempuanlah yang paling sering dibunuh.

Bentuk-bentuk ekstrim eksploitasi juga sering diarahkan terhadap kaum wanita. Menurut sejumlah taksiran, tiap tahun satu juta gadis Asia dijual atau dijebak ke dalam yang setara dengan perbudakan. Dalam wilayah-wilayah lebih miskin Asia—India, Bangladesh, Filipina, Burma, Thailand, Sri Lanka—lingkungan-lingkungan pelacuran adalah di antara usaha paling menguntungkan. Perdagangan manusia dimungkinkan oleh kesenjangan-kesenjangan besar dalam kekayaan antara negara-negara ini dan yang kaya seperti Jepang dan kerajaan-kerajaan minyak.

Meskipun kaum wanita kerap dipaksa melawan kehendak mereka untuk melepaskan kendali atas tubuh mereka dan kebebasan pikiran mereka, banyak dari mereka tergoda memasuki pelacuran oleh janji-janji mendapat pekerjaan berupah-tinggi sebagai “penghibur.” Mereka menerima dengan harapan bisa mengirim uang kepada keluarga mereka, hanya untuk terlambat mengetahui bahwa mereka telah menyerahkan diri ke tangan para pengeksploitir keji. Kini ada sekitar 300.000 perempuan Asia impor yang menjual seks di Jepang, tapi sedikit dari mereka akhirnya menghasilkan uang; para germo dan pemilik rumah bordillah yang jadi kaya. Di Cina, seorang petani bisa membeli seorang perempuan simpanan terculik seharga $300; seorang Arab bisa membelinya di India lebih murah lagi.

Golongan orang lainnya yang secara fisik tidak beruntung—setidaknya untuk sementara—adalah anak-anak. Dalam kebanyakan periode sejarah, mereka telah dieksploitasi oleh orang-orang dewasa yang memerlukan bantuan tenaga untuk bekerja, dan yang bisa mengandalkan kolusi dari segmen-segmen masyarakat yang lebih kuasa. Di sini seorang pendeta Anglikan menggambarkan nasib khas seorang anak lelaki di sebuah pabrik tekstil Inggris selama masa jaya Revolusi Industri, pada pertengahan abad ke-19:

Dia…telah ditemukan tidur berdiri dengan lengan-lengannya penuh wol dan telah dipukul bangun. Hari ini dia telah bekerja 17 jam; dia dibawa pulang oleh ayahnya, tidak bisa menyantap makan malamnya, bangun pada pukul 4 subuh esoknya dan menanyai saudara-saudaranya apakah mereka bisa melihat lampu-lampu pabrik karena dia takut terlambat, dan lalu mati. (Adiknya, berumur 9, telah mati lebih duku….)

Kondisi-kondisi di banyak bagian dunia tidak lebih baik bagi anak-anak bahkan hari ini. Reporter penyelidik Uli Schmetzer memperkirakan bahwa di Asia 40 juta anak di bawah usia 15 harus bekerja dalam kondisi-kondisi mengenaskan, kebanyakan mereka selama lebih dari 8 jam sehari, banyak yang selama 14 jam. Menurut sejumlah taksiran, sampai 1990 sekitar 13 juta anak di Amerika hidup di bawah garis kemiskinan. Laporan-laporan penganiayaan dan penelantaran anak telah meningkat dari sekitar 669.000 pada 1976 menjadi 2.178.000 sepuluh tahun kemudian, kenaikan 300%.

Situasinya lebih jelek lagi di banyak bagian lain dunia. Menurut suatu laporan PBB baru, sekitar 10 juta anak di bawah usia 5 mati setiap tahun akibat penyakit-penyakit seperti diare atau infeksi pernafasan yang bisa dengan mudah diobati dengan terapi rehidrasi dan antibiotik; 150 juta secara klinis mengalami gizi buruk; sekitar 100 juta hidup dengan kecerdikan mereka sendirian di jalan-jalan; dan banyak lagi dianiaya, dieksploitasi, dan dipaksa melacur.

Kaum wanita dan anak-anak dibuat potensial tak berdaya oleh kekuatan fisik mereka yang relatif lemah. Ini tentu tidak berarti bahwa eksploitasi mereka tak terhindarkan, tapi itu memang lebih memudahkan bagi para penindas tak bermoral untuk memanfaatkan kekuasaan lebih mereka. Karena ini, dalam semua masyarakat, bahkan masyarakat paling sederhana, peran-peran adalah berbeda menurut gender dan umur. Semua pria mungkin setara, dan semua wanita, tetapi kaum pria dan kaum wanita akan memiliki hak-hak berbeda dan kewajiban-kewajiban berbeda, dan hak-hak dan tanggung jawab ini akan berbeda menurut umur.

Minggu, 20 April 2008

Sumber Penindasan dan Eksploitasi

Selama kebanyakan sejarah manusia—jutaan tahun yang Zorg dan kaumnya mengembarai bumi dalam kawanan-kawanan pemburu dan pengumpul—praktis mustahil bagi satu individu untuk mengukuhkan kendali atas individu lain. Jika jantan dominan dari suatu kawanan menjadi terlalu brutal, yang lain-lain pergi dan mengikuti kelompok lain. Para pemimpin bisa menggunakan besar dan kekuatan mereka untuk mengintimidasi para pengikut, tapi kekuatan fisik semata tak pernah merupakan sarana dominasi yang amat memuaskan. Lagipula, sangat sedikit yang perlu dikontrol. Kecuali lebih banyak makanan dan lebih banyak seks, apa yang bisa dikehendaki Zorg?

Jika dia berusaha merebut kapak-kapak batu atau kendi para kawannya, dia akan segera kecapekan membawanya pada perjalanan-perjalanan berburu hariannya. Jika dia berusaha membuat orang-orang lain bekerja baginya, mereka akan segera hilang di balik cakrawala, meninggalkan Zorg mengurus dirinya sendiri. Jadi selama rentang terpanjang evolusi manusia, eksploitasi atas kaum pria (dan kaum perempuan) oleh kaum pria bukanlah suatu gagasan yang menguntungkan. Itu mungkin terjadi sangat sering atas dasar kesempatan, tapi itu mustahil dikukuhkan dalam segala bentuk yang lestari.

Situasi itu berubah dramatis ketika bertani menjadi bentuk utama penghidupan (nafkah) dalam sekitar limabelas ribu tahun terakhir. Pertama-tama, bertani menambatkan orang-orang ke wilayah atau tempat tertentu. Kalau para pemburu selalu bisa berpindah, jauh lebih sulit bagi para petani untuk berpindah. Mereka punya terlalu banyak energi psikis ditanamkan dalam ladang-ladang mereka, dan lahan bagus mana pun di daerah terdekat mungkin sudah didiami oleh orang lain.

Kedua, pertanian—berbeda dari berburu dan mengumpulkan—menghasilkan suatu surplus yang bisa disimpan. Ini berarti bahwa lewat ketrampilan atau kemujuran sebagian orang mengumpulkan lebih banyak makanan daripada orang-orang lain. Di titik itu, pewarisan kekayaan menjadi mungkin, dan dalam kondisi-kondisi yang tepat itu bisa menyebabkan perbedaan-perbedaan kasta atau kelas yang permanen.

Ketiga, bertani mensyaratkan pengetahuan yang relatif terkhusus dan pemilikan tanah dan peralatan. Sebagian individu mau tak mau mampu memperoleh tanah yang lebih produktif atau membuat peralatan yang lebih baik, dan karena mereka menghasilkan lebih banyak makanan, mereka menghimpun kekayaan. Menggabungkan tiga kondisi ini, lahannya siap untuk eksploitasi terlembagakan permanen.

Selebihnya adalah sejarah. Mereka yang kebetulan kaya, atau yang memiliki alat-alat produksi—yaitu tanah, peralatan, hewan beban—mampu mempekerjakan orang-orang lain yang tak punya sarana menghasilkan nafkah bagi diri mereka. Secara umum, yang kaya punya sedikit kegelisahan tentang menggunakan energi psikis orang miskin demi manfaat mereka sendiri. Lagipula, kekayaan saat itu seperti suatu virus budaya baru yang terhadapnya umat manusia belum mengembangkan antibodi—penangkal itu akan datang kelak, dengan pengembangan hukum-hukum, batasan-batasan agamis, pengorganisasian serikat-serikat buruh, dsb.

Sementara itu, sebentar setelah revolusi pertanian, atau sampai kira-kira 8 ribu tahun lalu, di seluruh dunia bentuk-bentuk sosial baru bangkit, didasarkan pada para penguasa sewenang-wenang yang telah menumpuk cukup surplus untuk mempekerjakan angkatan-angkatan perang besar, membangun kota-kota menakjubkan, dan mendirikan kuburan-kuburan besar untuk menurunkan kenangan tentang keberadaan unik mereka sendiri ke banyak generasi.

Demikianlah berakhir persamaan. Sesegera konsep-konsep budaya mulai memainkan peran lebih besar dalam urusan-urusan manusia, menjadi mungkin bagi sebagian orang untuk mengeksploitasi orang-orang lain. Marx tidaklah melenceng saat dia menulis bahwa sejarah manusia adalah sejarah konflik golongan. Begitu kelompok-kelompok tertentu menjadi mapan atau mengakar dalam kemampuan mereka untuk mengontrol kelompok-kelompok lain, bibit-bibit konflik ditaburkan.

Di mana Max salah adalah dalam penyederhanaan berlebihan atau ekstrim atas konflik ini. Pemikirannya adalah bahwa sejarah mengikuti suatu kemajuan linier lambat dari masyarakat-masyarakat suku, di mana semua manusia adalah sederajat, ke perbudakan, lalu ke sistem-sistem feodal, ke merkantilisme, dan ke kapitalisme tak terkendali, yang ditakdirkan untuk merusak-diri, sehingga menyiapkan lahan bagi suatu masyarakat tanpa-golongan baru yang akan menghapuskan eksploitasi—kediktatoran golongan pekerja. Tetapi perbedaan-perbedaan dalam kekuasaan tidak semudah dihapus seperti Marx telah secara lugu percaya. Selama 70 tahun di mana “kediktatoran golongan pekerja” menguasai Uni Soviet, sekelompok berkuasa politisi dan birokrat bengis menjadi lebih bersifat beban di punggung warganegara daripada keluarga Tsar lama.

Juga, para pengekploitir berganti jauh lebih pesat daripada yang Marx akan telah kira mungkin. Misalnya, dalam abad ke-20 kontrol terhadap sumberdaya di Eropa Tengah telah berganti-ganti tangan setidaknya 3 kali. Pada 1945, dengan bantuan tentara Soviet, kaum proletar (buruh) merampas harta dan kekuasaan dari golongan-golongan berharta yang saat itu berkuasa. Di negara-negara seperti Polandia, Rumania, Czekoslovakia, Hungaria, Yugoslavia, dan Bulgaria, jika orangtua atau bahkan kakek-nenek anda dulu adalah anggota golongan menengah, anda kini dianggap seorang “musuh golongan.” Anda akan telah di-blacklist dari kebanyakan pekerjaan, dan mungkin tidak telah diterima ke sebuah universitas. Tetapi sejak 1990, kepemilikan dan kekuasaan kembali terdistribusi ulang.

Penindasan adalah suatu kondisi di mana energi psikis dari satu orang dikendalikan oleh orang lain melawan kehendaknya. Sampai derajat tertentu, kita semua harus melakukan hal-hal yang tidak kita sukai karena seorang yang lebih kuasa menginginkan kita melakukannya. Para remaja Amerika menghabiskan bagian terbesar hari di sekolah, dan 70% waktu mereka berharap mereka tidak hadir (sisanya 30% waktu mereka tidak berada dalam ruang kelas tapi di aula, kafetaria, atau pusat siswa, dan pada waktu-waktu itu mereka tidak merasa terkekang sama kuat). Pola yang sama berlaku bagi banyak orang dewasa Amerika berkenaan dengan pekerjaan mereka. Tapi ini bukan sebenarnya contoh penindasan, karena para siswa dan pekerja berharap untuk memperoleh suatu faedah mendatang dari mengasingkan energi psikis mereka pada saat ini.

Contoh paling murni dari eksploitasi penindas adalah perbudakan. Yang membuatnya tak dapat ditoleransi bukanlah karena para budak harus bekerja keras—para eksekutif modern mungkin bekerja lebih keras lagi—tetapi karena mereka tidak bisa mengendalikan perhatian mereka dengan bebas. Mereka tak bisa memilih ingin berada di mana, ingin melakukan apa, ingin mengawini siapa. Dus mereka tercabut dari kondisi dasar kemanusiaan—kontrol atas energi psikis. Tak mengherankan, para filsuf Yunani menyimpulkan bahwa para budak bukan benar-benar manusia karena mereka tak punya kebebasan memilih.

Tetapi ada banyak cara lain untuk mengeksploitasi energi psikis semacam perbudakan. Setiap orang lebih suka memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasratnya tanpa harus bekerja meraihnya. Kapan saja kita bisa terbebas dari melakukannya, kita akan mengambil peluang itu. Remaja yang meminta orangtuanya membelikannya mobil baru dengan alasan paling remeh, suami yang membiarkan istri pekerjanya mengerjakan semua tugas rumah, direktur utama yang memakai uang perusahaan untuk menggaji dan memberi bonus mewah dirinya semua adalah usaha terkenal untuk membuat orang-orang lain menghabiskan hidup mereka membuat hidup kita lebih nyaman.

Para penindas sering mengawali karir mereka sebagai pelindung, dan baru kemudianlah berubah jadi pengeksploitir. Satu contoh menarik adalah laporan sejarawan Leslie White tentang bagaimana sistem feodal berkembang di Eropa. Menurut White, setelah Kekaisaran Roma yang digdaya tumbang, kebanyakan tanahnya kembali ke para petani semi-otonom yang hidup di desa-desa terpencil.

Para petani ini umumnya bisa membela kemerdekaan mereka melawan para musuh potensial, yang tidak jauh lebih tepersenjatai atau terlatih daripada mereka. Tapi kemudian, antara abad ke-6 dan ke-8, suatu inovasi teknologi mengubah neraca kekuasaan, dan karena itu politik dan gaya hidup dari seluruh benua. Inovasi itu adalah stirrup (yaitu sepotong logam berbentuk-D untuk dimasuki kaki penunggang, yang tergantung dari sisi pelana kuda), yang diadopsi dari kaum nomad dari stepa-stepa Asia.

Sebelum stirrup digunakan, mudah bagi para prajurit berkuda untuk jatuh dari punggung kuda mereka secara kebetulan. Karena itu, mereka tak bisa dipersenjatai berat, atau sedikit kehilangan keseimbangan akan mengakibatkan jatuh. Tapi dengan stirrup, seorang penunggang kuda bisa mengenakan perisai yang makin berat dan tetap mempertahankan duduknya.

Segera para ksatria berperisai mulai mengembarai daratan, dan mereka nyaris tak terhancurkan. Para petani sadar bahwa kalau mereka ingin menjaga hasil bumi mereka aman, pertahanan mereka satu-satunya adalah memiliki para ksatria sendiri. Di banyak desa para petani itu sendiri urun biaya untuk membeli perlengkapan mahalnya—tombak, pedang, perisai tubuh, helem, sarung tangan, dsb.—sehingga mereka bisa memperlengkapi seorang pemuda lokal yang kuat dan menjadikannya pelindung mereka.

Skema ini manjur sementara, tapi segera ksatria yang baru dicetak itu menyadari bahwa jika dia ingin mengeksploitasi para bekas penyokongnya tidak ada yang bisa dilakukan para petani itu. Setelah beberapa generasi para ksatria dan keturunan mereka berkembang menjadi suatu kasta terpisah, dengan ketrampilan terkhusus, ideologi, dan gaya hidup mereka sendiri, hidup berkecukupan dari kerja banting tulang dari mereka yang telah mula-mula menciptakan mereka.

Penindasan sering dimungkinkan oleh suatu kemajuan teknologi baru—kadang sedramatis masuknya pertanian, kadang senampaknya remeh seperti stirrup. Kapan pun suatu meme atau konsep budaya baru memungkinkan sebagian orang untuk mengungguli orang-orang lain, eksploitasi pasti mengikuti. Untuk menjaga kendali atas energi psikis kita sendiri, menjadi esensial bahwa kita memahami cara kekuasaan sedang digunakan. Kita tak bisa bebas kecuali kita belajar untuk melindungi diri dari ambisi-ambisi orang-orang lain, dan kecuali kita menahan diri dari mengeksploitasi orang-orang lain.

Jumat, 18 April 2008

Kekuasaan dan Penindasan

Untuk menjadi mitra aktif dalam evolusi positif, tidaklah cukup bagi Semesta memiliki kemampuan untuk melihat dengan jernih dan bertindak secara bebas sehingga kita tidak akan lagi berada di bawah kendali tubuh, budaya, atau ego. Ada kendala-kendala lain yang lebih dulu harus dihadapi.

Berbeda dengan praduga-praduga yang sifatnya internal, kendala-kendala ini timbul dari interaksi dengan unsur-unsur lain Semesta. Hambatan-hambatan ini adalah akibat dari tekanan-tekanan persaingan yang melekat dalam evolusi. Semua kita punya perangsang melekat untuk memanfaatkan orang-orang lain untuk memajukan kepentingan-kepentingan kita sendiri.

Kita semua mencoba untuk mendapat sebanyak mungkin kekuasaan, untuk mengambil sebanyak mungkin energi dari lingkungan, untuk membuat hidup kita lebih terjamin dan nyaman. Karena itu penindasan (opresi) dan eksploitasi parasitik merupakan ciri-ciri tetap dari evolusi. Tetapi opresi dan eksploitasi juga menyimpangkan persepsi terhadap realitas, baik bagi mereka yang menang maupun bagi mereka yang kalah dalam prosesnya.

Satu ciri yang membedakan manusia dari hewan-hewan lain—mungkin sekhas ucapan atau postur tegak—adalah fakta bahwa kita menemukan begitu banyak cara untuk menindas dan mengekploitasi satu sama lain. Perbedaan-perbedaan kekayaan, status, dan ilmu memungkinkan sebagian orang untuk hidup dari energi psikis yang dikeluarkan oleh orang-orang lain.

“Kekuasaan” adalah istilah umum untuk menggambarkan kemampuan seseorang untuk membuat orang-orang lain menjalankan hidup mereka untuk memuaskan tujuan-tujuannya. Kekuasaan bisa didasarkan pada uang, harta milik, rasa takut, atau rasa hormat; ia bisa di dijalankan oleh seseorang atau oleh sekelompok. Kekuasaan bisa berbahaya, karena seperti dipandang Lord Acton, “Kekuasaan cenderung untuk korup; kekuasaan mutlak mengkorupsi secara mutlak.”

Sekalipun dengan niat-niat terbaik, satu individu, kelompok, atau negara yang berkuasa pada akhirnya akan menganggap bahwa ia punya hak untuk hidup lebih baik daripada mereka yang kurang berkuasa. Rata-rata orang yang hidup di Amerika Serikat menghabiskan jauh lebih banyak sumberdaya alam daripada orang yang lahir di India atau Cina. Baik kita suka atau tidak, kita punya potensi untuk mengendalikan hidup orang-orang lain yang tidak kita kenal yang memiliki lebih sedikit sumberdaya, dan karena itu untuk mengeksploitasi mereka, sampai derajat yang belum pernah ada dalam sejarah.

Ketika ada perbedaan-perbedaan besar dalam kekuasaan, eksploitasi terjadi bahkan saat orang-orang mempunyai niat-niat terbaik. Contohnya, di negara-negara Teluk yang relatif baru kaya seperti Kuwait, alamiah bagi para warganya menolak untuk melakukan kerja-kerja tak terampil seperti menyapu jalan, mengemudikan truk, membangun rumah, atau bahkan menjadi polisi dan tentara.

Di sisi lain, ribuan warga Pakitan dan Filipina bersemangat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ini, demi upah yang jauh lebih rendah daripada seorang Kuwait akan berharap dibayar. Karena itu sangatlah masuk akal untuk memasukkan jutaan “buruh pendatang” dunia-ketiga untuk melakukan kerja kasarnya. Skenario ini tentu akrab bagi setiap negara yang relatif kaya, mulai Swedia sampai Italia. Di AS inilah alasan untuk arus masuk yang ajeg para pekerja tak tercatat dari Meksiko dan Eropa Timur.

Tidak ada yang salah dengan penyesuaian-penyesuaian ulang kependudukan yang bersifat sukarela macam itu. Sepanjang kedua pihak puas, tidak ada masalah penindasan atau eksploitasi. Sayangnya kesetimbangan macam itu tetap stabil hanya untuk jangka pendek. Seorang pekerja Turki di Jerman, atau pekerja Meksiko di AS, akan segera mulai mengidamkan tunjangan-tunjangan sosial yang tersedia bagi para warga yang lebih kuasa. Asuransi kesehatan, jaminan sosial, program pensiun, tunjangan pengangguran, hak pilih—semua tetek bengek dari hidup dalam suatu masyarakat penuh kuasa mulai dipertanyakan. Tentu para warga dari negara penerimanya cenderung menjadi jengkel terhadap kehendak-kehendak macam itu—lagipula, para tamu itu diajak masuk memang karena mereka tidak berharap banyak awalnya. Di titik ini, lahan siap untuk suatu konflik dengan tuduhan-tuduhan dan tudingan-tudingan balasan eksploitasi.

Untuk menghindari akibat serupa ini, banyak bangsa lebih kaya telah mengambil berbagai kebijakan yang memungkinkan mereka menggunakan buruh yang lebih murah tanpa menciptakan suatu kelas-bawah yang merepotkan. Contohnya, ribuan pemuda datang tiap tahun di Swiss dari Spanyol, Portugal, dan praktis tiap negara lain untuk mencuci piring dan membersihkan kamar di banyak sekali hotel yang memberi bangsa itu sumber arus kasnya yang paling handal.

Para pekerja tamu ini menerima visa yang memberi mereka hak untuk bekerja selama sejumlah bulan persis kurang dari yang akan diperlukan untuk memenuhi syarat untuk mulai mendapat perawatan kesehatan dan tunjangan-tunjangan sosial lainnya; pada saat itu mereka harus pulang kampung. Setelah setahun mereka bisa kembali, tapi lagi-lagi hanya selama jangka yang persis kurang dari mendapat santunan. Rencana-rencana macam ini tentu sangat masuk akal, namun mereka tidak sepenuhnya bebas dari eksploitasi.

Dahulu, AS telah mampu menyerap gelombang-gelombang besar imigran miskin tanpa menciptakan suatu kelas-bawah yang selamanya tercabut hak-haknya—dengan mungkin perkecualian penduduk Afrika-Amerika dan Pribumi Amerika. Sejauh mana negara ini akan mempertahankan kapasitasnya untuk memelihara suatu masyarakat yang relatif tanpa-kelas masih perlu dilihat. Tampaknya, jurang antara kaum punya dan tidak-punya meningkat. Jika tren-tren sekarang berlanjut, seiring waktu, pewarisan kekayaan dan status condong lebih berperan dalam menentukan siapa yang akan mampu menggunakan energi psikisnya secara bebas, dan siapa yang akan dieksploitasi.

Kamis, 17 April 2008

Adiksi (Ketagihan) Pada Kesenangan

Kepercayaan berlebihan pada kebijaksanaan tubuh adalah berbahaya. Inilah yang menjelaskan mengapa ketagihan makan atau makan berlebihan dsb. membahayakan perjalanan evolusi semesta.

Nenek moyang kita telah berulang-ulang berganti dari mempercayai pikiran-pikiran mereka ke mempercayai indera-indera mereka. Sosiolog Pitirim Sorokin telah menggambarkan perubahan-perubahan dalam pandangan-dunia ini dalam riset-risetnya tentang sejarah kebudayaan, yang dia lihat sebagai berganti-ganti antara fase-fase ideational (atau yang diatur-nilai) dan fase-fase inderawi (atau yang diatur-kesenangan).

Dalam era silam kita telah saksikan satu transisi, yang berawal di awal abad ke-20, mengambil momentum setelah Perang Dunia I, semakin cepat setelah Perang Dunia II, dan mencapai pundaknya pada akhir 1960-an. Fase indrawi pada 1990-an ditandai oleh legitimasi yang meningkat atas materialisme (orang-orang mungkin sebelumnya sama berorientasi materi, tetapi sedikit yang peduli untuk mengakuinya terang-terangan), penolakan berangsur terhadap represi-represi perilaku dan kaidah-kaidah moral yang dilihat sebagai munafik, kehilangan keimanan pada nilai-nilai permanen, sikap self-centered yang mencintai diri sendiri, dan pencarian tanpa-malu terhadap kepuasan inderawi.

Satu rumusan populer dari pandangan-dunia ini adalah “falsafah Playboy” yang dicetuskan oleh Hugh Hefner, penerbit dari majalah pertama yang terdistribusi luas dari zaman inderawi baru. Falsafah ini menemukan gayung bersambut dalam banyak sekte, terapi, dan gaya hidup yang telah mencuat di Pesisir Barat AS selama dua generasi terakhir dan yang memuji capaian tanpa-batas dari potensi-potensi manusia. Pesan dasar dari gerakan ini adalah bahwa kita perlu melakukan apa yang terasa enak, karena tubuh paling tahu. Segala usaha untuk mencampuri kesenangan dicurigai, bagian dari suatu persekongkolan untuk membuat hidup kita lebih sengsara.

Tesis ini tak akan telah membuat banyak perubahan selama ia tetap suatu “filsafat,” kecuali bahwa ia bertepatan dengan suatu periode sejarah di mana banyak dari ajaran-ajarannya bisa sesungguhnya dilaksanakan. Kelimpahan materi terus bergulir maju. Mobil-mobil, kontrasepsi, bak-bak panas, dan berbagai kenyamanan memungkinkan banyak orang untuk merasa bahwa mereka memang bisa memuaskan setiap dorongan hati tanpa takut akan konsekuensi-konsekuensi.

Namun, seperti nyatanya, ada banyak bukti yang mengisyaratkan bahwa tubuh kita tidak tahu apa yang baik baginya. Makin banyaknya pecandu narkoba, alkohol, korban penyakit-penyakit seks, kehamilan tak diinginkan, dan pemakan berlebihan menunjukkan bahwa melakukan apa yang terasa baik bisa dengan mudah membawa pada perasaan sangat buruk. Tikus-tikus yang punya pilihan antara makan dan merangsang secara elektrik pusat-pusat kesenangan dari otak mereka akan memilih perangsangan itu dan mati kelaparan. Monyet-monyet yang ketagihan heroin akan bekerja sampai mereka mati kecapekan untuk mendapat dosis lagi. Perilaku serupa di jalan-jalan kota kita menunjukkan betapa mudahnya otak tunduk pada kesenangan.

Kesenangan, menurut pengertian evolusi, adalah suatu pengalaman yang dirasakan saat kita melakukan sesuatu yang pada masa lalu telah berguna untuk kelangsungan hidup. Ia adalah hasil dari perangsangan kimiawi atas reseptor-reseptor saraf yang sesuai, biasanya oleh zat-zat yang si organisme telah butuhkan untuk perfungsian optimal.

Contohnya, ketika para leluhur amat jauh kita hidup di laut, tubuh mereka menjadi teradaptasi dengan suatu lingkungan asin. Meskipun ras manusia telah hidup di darat selama berjuta-juta tahun, ia masih membutuhkan pasokan tetap garam untuk mengisi keseimbangan fisiologis dari tubuh, memelihara metabolisme air internal, dan menjaga potensi listrik lintas selaput-selaput sel yang diperlukan bagi jantung untuk memompa darah. Seiring waktu, rasa garam telah menjadi menyenangkan, suatu adaptasi mujur yang memastikan bahwa kita akan mencari-carinya dan mengonsumsi jumlah yang perlu.

Ini dulu bagus dalam lingkungan-lingkungan di mana garam jarang. Para pedagang membawa gumpalan-gumpalannya sepanjang jarak-jarak yang besar dan menukarnya dengan gading dan logam-logam mulia; perang-perang diterjuni untuk mendapatkan lebih banyak garam; tambang-tambang garam adalah di antara harta-harta paling berharga dari kekaisaran-kekaisaran awal. Karena garam saat itu begitu mahal, sulit untuk mengalami overdosis. Kesenangan dari rasa asin dengan rapi diimbangin oleh kelangkaannya.

Tetapi seiring nenek moyang kita belajar mengekstraksi dan memadatkan garan secara lebih efisien, ia menjadi lebih segera tersedia dan karena itu lebih murah. Kini satu kemasan keripik kentang bisa memberikan lebih banyak garam daripada makanan-makanan masa lalu yang terkandung dalam banyak hari. Garam masih terasa enak, tetapi kini kita mengonsumsinya terlalu banyak sehingga membahayakan kesehatan kita dalam prosesnya.

Pola sama berlaku untuk lemak-lemak, gula, alkohol, dan zat-zat lain yang bisa dengan mudah menjadi adiktif. Karena dahulu mereka baik bagi kita, kita belajar untuk menyukainya. Tetapi setelah kedatangan budaya, kondisi-kondisi mulai berubah lebih dan lebih pesat, dan pusat-pusat kesenangan dalam otak tidak punya waktu untuk beradaptasi. Dalam hanya satu periode 40-tahun setelah 1860, produksi gula dunia total meningkat 500%. Dan sampai 1990 ada sekitar 17,7 juta warga Amerika dengan permasalahan alkohol, dan 9,5 juta pemakai kronis obat-obatan terlarang.

Gen-gen kita tidak punya waktu untuk belajar bahwa terlalu banyak garam, gula, kokain, atau alkohol adalah tak sehat. Karena mereka tak pernah harus khawatir tentang adanya terlalu banyak dari zat-zat ini sebelumnya, tiada pertahanan telah dibangun melawan kelebihan. Akibatnya, kesenangan menjadi suatu panduan menyesatkan pada perilaku.

Yang berlaku bagi zat-zat kimia juga berlaku bagi perilaku-perilaku yang menyenangkan karena ia membantu kelangsungan hidup, tetapi bisa menjadi berbahaya jika ia terlalu diumbar. Antropolog Lionel Tiger berdalih bahwa seks, pengamalan dominansi dan kekuasaan, dan pergaulan sosial semuanya menyenangkan karena mereka membantu kelangsungan hidup pada masa lalu.

Contohnya, seorang Zaman Batu penyendiri akan telah kesulitan menemukan jodoh yang dengannya untuk menghasilkan anak, dan akan segera dilahap oleh kucing-kucing besar yang berkeliaran di savanah. Hanya orang-orang yang merasakan kesenangan dalam pertemanan kelompok, dan tak pernah tersesat jauh dari orang-orang lainlah, yang bertahan hidup. Dus kita semua turun dari nenek moyang yang ekstrovert—mereka yang bertahan hidup—dan otak kita terjalin untuk mengalami kesenangan saat bersama orang-orang lain. Tetapi sikap gaul, seperti perilaku-perilaku adaptif berguna lainnya, dalam masa kita sendiri bisa dengan mudah dilakukan berlebihan dan lalu menjadi tidak sehat.

Evolusi nampaknya telah memberi kita suatu mekanisme efisien untuk membuat kita melakukan apa yang baik bagi kita—pengalaman kesenangan. Tetapi untuk menghemat usaha (dan evolusi adalah selalu soal menghemat usaha, karena entropi atau potensi kekacauan begitu kuat dan energi begitu sulit diperoleh), ia tidak memberikan suatu mekanisme pelengkap untuk menginderai suatu rata-rata emas dan menghindari ekses. Seperti kata Tiger, memparafrase sejarawan Santayana, “Mereka yang tidak belajar dari prasejarah terkutuk untuk mengulang sukses-suksesnya.” Otak tak akan memberitahu kita kapan cukup itu cukup.

Satu-satunya cara untuk menghindari jadi secara berbahaya bergantung pada kesenangan adalah menggunakan akal. Hanya melalui perenungan sadar kita bisa tentukan berapa banyak dari apa yang nampak baik sesungguhnya baik bagi kita, dan lalu mengambil suatu disiplin yang memungkinkan kita berhenti pada ambang. Inilah persisnya yang telah coba dilakukan agama-agama: memberikan perintah-perintah budaya untuk berteguh pada rata-rata emas.
Misalnya, Islam, Kristen, dan Budha, tiga dari agama-agama tertua dan paling tersebar luas, semua sangat menganjurkan penahanan nafsu-nafsu yang tak terkontrol. Ketujuh dosa maut agama Kristen memperingatkan terhadap kebanggaan berlebihan, terlalu banyak harta materi, seks berlebihan, terlalu banyak makanan dan minuman, kemarahan, dan kemalasan. Sama halnya 4 Kebenaran Agung agama Budha menyatakan bahwa (1) penderitaan adalah suatu bagian esensial kehidupan, (2) sebab dari penderitaan adalah hasrat terhadap kesenangan inderawi, (3) kebebasan dari penderitaan memerlukan penyingkiran hasrat, dan (4) penyingkiran hasrat dicapai dengan mengikuti 8 Jalan Agung—yang gilirannya adalah suatu sistem disiplin-diri di mana kita belajar mengendalikan nafsu-nafsu tak berbatas dari tubuh.

Rabu, 16 April 2008

Kelainan-Kelainan Makan Dalam Perspektif Evolusi

Untuk menjalani evolusi manusia membutuhkan asupan energi eksternal. Satu sumber energi ini adalah makanan. Tetapi sumber energi ini bisa menjadi hambatan serius bagi upaya-upaya evolusioner jika pikiran kita telah menumbuhkan ketagihan (adiksi) pada kegiatan makan atau pada makanan.

Makanan telah menguasai pikiran kita. Kita tak bisa meluangkan lebih dari beberapa jam tanpa mulai berpikir tentang makan. Studi-studi tentang psikologi kehidupan sehari-hari mengisyaratkan bahwa rata-rata orang meluangkan antara 10 dan 15 persen dari kehidupan sadar mereka (artinya di luar tidur) dengan makan atau berpikir tentang makanan. Bagi orang-orang dengan kelainan-kelainan makan, angkanya 2 kali lipat—hampir sepertiga hari diisi dengan kekhawatiran atau obsesi tentang makanan.

Dalam kasus-kasus ekstrim, tidak mampu menahan rasa lapar kita bisa mematikan. Secara seragam dilaporkan oleh orang-orang yang pernah menghabiskan waktu dalam kamp-kamp konsentrasi bahwa para tawanan yang mati lebih dulu adalah mereka yang tak bisa melepaskan pikiran mereka dari makanan, dan mau berbuat apa saja untuk mendapatkannya. Seseorang yang menghabiskan bertahun-tahun dalam gulag-gulag Soviet menceritakan bahwa dalam salah satu kamp staf dapurnya menghibur diri dengan membuang kupasan-kupasan kentang—satu-satunya limbah yang bisa dimakan—tepat di sebelah kakus, tempat kupasan-kupasan itu akan langsung tercemari kotoran. Memakan kulit-kulit kentang mentah ini berarti bunuh diri—tetapi selalu ada beberapa napi yang tidak bisa menahan diri, dan tidak mengindahkan peringatan-peringatan memakan lahap kupasan-kupasan itu, biasanya untuk mati segera setelah itu akibat infeksi usus.

Kita tidak mengalami masalah-masalah separah ini. Tetapi jika membaca majalah-majalah populer kita mendapat kesan bahwa bahkan dalam masyarakat kita kebanyakan orang masih terlibat dalam pertarungan tetap melawan obsesi dengan makanan. Nampaknya suatu diet atau makanan baru muncul tiap minggu, menjanjikan penyelamatan kepada khalayak yang kelebihan berat badan.

Para selebriti membahas strategi-strategi pengawasan-bobot mereka dengan keseriusan yang dulu diperuntukkan bagi penyelamatan jiwa. Para pegawai yang duduk-terus di Amerika Serikat mengonsumsi sebanyak 8.000 kalori sehari—hampir tiga kali lipat yang sebenarnya dibutuhkan tubuh—dan ini mau tak mau menyebabkan kenaikan berat badan yang membahayakan kesehatan. Jelas kita jauh dari telah mengambil kendali atas nafsu-nafsu kita.

Apakah ini berarti bahwa adalah lebih baik mempertanyakan setiap gerak yang kita buat, dan mencoba meredam hasrat seks, atau mencoba berhenti makan, atau menahan diri dari memiliki anak, karena ini sebenarnya bukan tujuan-tujuan kita, tetapi tujuan-tujuan yang telah ditanamkan dalam pikiran-pikiran kita oleh gen-gen keakuan? Tindakan macam ini tentu akan merugikan diri. Tidak ada jalan untuk lepas dari kebutuhan kehidupan biologis. Akan congkak mencoba meramalkan kearifan jutaan tahun adaptasi, seandainyapun kita mungkin melakukannya. Pada saat yang sama, kelangsungan hidup dalam milenium ini akan mengharuskan kita lebih mengerti bagaimana kita dimanipulasi oleh zat-zat kimia dalam tubuh kita.

Sebagai langkah pertama, seiring kita menjalani rutinitas-rutinitas harian, akan melegakan jika kita berhenti dan merenung mengapa kita melakukan hal-hal yang kita lakukan. Ada gunanya untuk mengetahui, jika kita mendapat sekerat daging ketiga untuk sarapan, bahwa kita tidak cuma sedang menjalankan pilihan bebas atau mengumbar dorongan sesaat, tetapi mungkin sedang dimanipulasi perintah-perintah dari sebuah gen lapar berumur 3-juta tahun. Tidak masalah apakah kita terus memakan potong ketiga itu atau tidak. Yang penting adalah bahwa, sekalipun hanya selama beberapa detik, kita telah menginterupsi atau menyela determinisme otomatis dari gen-gen itu—bahwa untuk saat itu, kita telah mengangkat tabir pertama dari evolusi.

Merenungkan sumber dari impulse (dorongan hati), dari kebiasaan-kebiasaan, adalah langkah pertama dalam mengendalikan energi psikis kita. Mengetahui asal dari motif-motif, dan menjadi sadar akan praduga-praduga kita adalah prasyarat bagi kebebasan. Tapi tidaklah cukup mengetahui bagaimana perintah-perintah genetik menjaga kita terus melakukan apa yang perintah-perintah itu inginkan kita untuk lakukan. Tabir kedua adalah yang dengannya kebudayaan dan masyarakat—tatanan-tatanan manusia yang ke dalamnya kita lahir—menyelubungi realitas, menutupi alternatif-alternatif untuk menggunakan energi psikis kita demi tujuan-tujuannya sendiri.

Jaringan Global Evolusi

Membentuk jalan evolusi mendatang bukanlah hal yang bisa dicapai oleh unsur-unsur semesta yang bekerja sendirian. Semesta terjalin dalam proses-proses ekonomi, politik, dan demografis yang berasal di tempat lain yang jauh, yang terhadapnya semesta memiliki sedikit kendali. Tidak ada tempat tersisa di bumi di mana kita bisa merencanakan nasib kita tanpa memperhitungkan apa yang terjadi di tempat-tempat lain di dunia.

Satu anekdot bisa membantu melukiskan hal ini. Pada 1980-an, seorang profesor Kanada merencanakan hari tua dengan istrinya. Sebagai orang peka dan rasional, mereka memutuskan untuk pensiun ke tempat teraman di bumi yang bisa mereka temukan. Mereka menghabiskan banyak waktu membolak-balik almanak dan ensiklopedia untuk memeriksa angka-angka pembunuhan dan statistik kesehatan, bertanya-tanya tentang arah angin (agar tidak terimbas kemungkinan sasaran nuklir), dan akhirnya menemukan tempat sempurna. Mereka membeli sebuah rumah di sebuah pulau pada awal 1982. Dua bulan kemudian rumah mereka hancur. Pilihan mereka adalah Kepulauan Falkland.

Satu contoh kasus yang masih hangat di Indonesia adalah “ekspor” asap tahunan dari Sumatera dan Kalimantan. Para penduduk Singapura, Malaysia dan Filipina yang tidak berdosa harus menanggung dampak kesehatan dan ekonomi yang sangat besar setiap tahun akibat ulah tidak bertanggung jawab perusahaan-perusahaan pengelola hutan dan perkebunan, yang sengaja memilih cara singkat dan gampang untuk membersihkan lahan mereka untuk musim tanam baru.

Kesalingterkaitan (interkoneksitas) dari kegiatan-kegiatan dan kepentingan-kepentingan manusia meningkat lebih cepat lagi daripada yang dengannya kita terbiasa dalam milenium ini. Tindakan-tindakan kita akan mempengaruhi setiap orang yang hidup di planet ini, dan kita akan dipengaruhi oleh tindakan-tindakan mereka. Bersama-samalah kita akan berjaya atau runtuh.

Namun kesadaran manusia telah berkembang melalui ribuan tahun sebelumnya untuk mewakili pengalaman-pengalaman individu, untuk memajukan kepentingan-kepentingan perorangan. Paling-paling, kita siap mencintai dan melindungi kerabat dekat kita. Beberapa individu telah mampu melebarkan pikiran-pikiran mereka untuk mencakup kepentingan-kepentingan yang lebih luas, memahami bahwa pembagian antara “aku” dan “orang lain” sangat acak. Namun, secara umum kesadaran kita belum siap untuk permasalahan mendatang, tak peduli betapa mendesaknya permasalahan itu.

Bagaimana kita bisa paling baik merekayasa ulang pikiran untuk mengakomodasi tantangan-tantangan masa depan? Satu kemungkinan, yang digalakan oleh paradigma Harmoni Semesta, adalah meninjau kembali apa yang kita ketahui tentang masa lalu evolusioner dan warisannya kepada pikiran-pikiran kita. Dengan mengerti bagaimana psikologi manusia telah berkembang sepanjang waktu menanggapi kondisi-kondisi yang berubah dalam lingkungan, kita mungkin beradaptasi lebih cepat terhadap perubahan-perubahan yang semakin pesat yang menuntut tindakan di masa mendatang.

Selasa, 15 April 2008

Perspektif Evolusi

Tiap tahun kita belajar lebih banyak tentang kompleksitas menakjubkan dari semesta kita. Pikiran kita takjub pada petunjuk miliaran galaksi, masing-masing tersusun dari miliaran bintang, yang perlahan berputar ke setiap arah selama jarak-jarak yang tak bisa dibayangkan. Dan di dalam tiap butir materi, penumbuk-penumbuk super (supercollider) mengungkap konstelasi-konstelasi yang terus-surut dari partikel-partikel aneh yang melesat sepanjang orbit-orbit misterius.

Di tengah medan gaya-gaya yang akbar inilah suatu kehidupan manusia berkembang dalam apa yang kurang dari sepersekian detik pada skala waktu kosmik. Namun, sejauh menyangkut kita, kehidupan singkat kita sendiri inilah, dengan sedikit momen berharganya, yang bernilai lebih daripada semua galaksi, lubang hitam, dan bintang meledak digabungkan.

Dan ada alasan bagus untuk merasa begini. Seperti kata Pascal, manusia mungkin rapuh, tetapi mereka adalah makhluk berpikir; dalam kesadaran mereka, mereka mencerminkan kebesaran semesta. Dalam beberapa abad terakhir, kehadiran manusia telah menjadi lebih sentral lagi dalam dunia alami. Kita baru-baru ini saja telah mampu mendapat pemandangan sekilas tentang jutaan tahun yang mendahului kita, zaman-zaman di mana ribuan organisme saling mengganti, berjuang untuk bertahan hidup dalam suatu lansekap yang terus-berubah.

Dan kita kini sadar bahwa warisan unik kita—kesadaran reflektif yang menenangkan kita sampai percaya untuk sementara bahwa kita selamanya ditakdirkan untuk menjadi mahkota makhluk—membawa bersamanya suatu tanggung jawab besar. Kita sadar bahwa berada di garis depan evolusi di planet ini berarti kita bisa mengarahkan energi kehidupan kita menuju pencapaian pertumbuhan dan harmoni atau menyia-nyiakan potensi-potensi yang telah kita warisi, yang menambah pada kuasa kekacauan dan kerusakan.

Untuk membuat pilihan-pilihan yang akan membawa pada suatu masa depan yang lebih baik, kita harus menyadari kekuatan-kekuatan atau gaya-gaya yang bekerja dalam evolusi; melalui gaya-gaya itulah kita akan berhasil atau gagal sebagai suatu spesies. Kita perlu merenungkan apa yang kita ketahui tentang evolusi, dan mengembangkan implikasi-implikasi dari pengetahuan itu bagi tindakan sehari-hari. Jika kita lebih memahami apa yang sedang kita hadapi, kita memiliki kesempatan lebih baik untuk menjalani hidup kita secara bertanggung jawab, dan mungkin untuk membantu mengarahkan masa depan menuju tujuan-tujuan paling positif dari kemanusiaan.

Satu hasil dari merenungkan evolusi adalah bahwa kita belajar untuk menganggap masa lalu secara sangat serius. Natura non fecit saltum, kata bangsa Romawi: Alam tidak maju dengan langkah pesat dan besar. Apa kita hari ini adalah hasil dari gaya-gaya yang bekerja atas nenek moyang kita ribuan tahun lalu, dan akan apa umat manusia pada masa depan akan bergantung pada pilihan-pilihan kita saat ini.

Tetapi pilihan-pilihan kita dipengaruhi oleh sejumlah batasan yang adalah bagian dari bangun evolusi setiap manusia. Pilihan-pilihan kita dipengaruhi gen-gen yang mengatur fungsi-fungsi tubuh kita, dan dipengaruhi insting-insting, yang, misalnya, mendorong kita untuk marah atau terangsang secara seksual bahkan saat kita tidak ingin. Pilihan-pilihan kita juga dibatasi oleh warisan budaya, oleh sistem-sistem yang mengajari kaum pria untuk menjadi jantan dan kaum wanita untuk menjadi anggun, atau satu agama untuk menjadi tidak toleran terhadap para anggota agama lain.

Sementara berjuang untuk mengubah jalan sejarah kita tak bisa berharap mengharapkan hilang batasan-batasan yang telah dibebankan masa lalu kepada kita; berbuat itu hanya akan membawa pada frustrasi dan kekecewaan. Namun, pengetahuan tentang gaya-gaya yang menentukan kesadaran dan tindakan ini bisa memungkinkan kita untuk menjadi terbebas darinya: untuk menjadi bebas untuk memutuskan memikirkan apa, merasakan apa, dan bagaimana bertindak.

Pada titik ini dalam sejarah kita, seharusnya mungkin bagi seseorang untuk membangun suatu diri yang bukan sekedar hasil dari dorongan-dorongan biologis dan kebiasaan-kebiasaan budaya, tetapi suatu makhluk pribadi dan sadar. Diri itu akan sadar akan kebebasannya dan tidak menakutkannya. Ia akan menikmati hidup dalam semua bentuknya, dan berangsur-angsur menjadi sadar akan kedekatannya dengan seluruh manusia, dengan kehidupan secara keseluruhan, dan dengan gaya-gaya yang menghidupkan dunia melebihi pemahaman kita.

Ketika diri itu mulai melampaui kepentingan-kepentingan sempit yang dilekatkan ke dalam strukturnya oleh evolusi, ia lalu siap untuk mulai mengambil kendali atas arah evolusi. Tetapi membentuk jalan evolusi mendatang bukanlah hal yang bisa dicapai oleh individu-individu pribadi yang bekerja sendirian. Karena itu, kita perlu mempertimbangkan lembaga-lembaga sosial mana yang paling cenderung untuk menyantuni tindakan-tindakan evolusioner positif, dan bagaimana kita bisa mengembangkan lebih banyak lembaga sosial.

Jadi, inilah tugas evolusioner Semesta (tugas yang tentu berubah lambat, tak pernah berakhir) :
· Menjelajahi gaya-gaya dari masa lalu yang telah membentuk kita dan menjadikan kita macam organisme kita sekarang;
· Menggambarkan jalan-jalan hidup yang membantu kita membebaskan diri dari tangan maut dari masa lalu;
· Mengusulkan pendekatan-pendekatan terhadap kehidupan yang meningkatkan kualitasnya dan membawa pada keterlibatan yang menggembirakan;
· Merenungkan jalan-jalan untuk mengintegrasikan atau memadukan pertumbuhan dan pembebasan diri dengan pertumbuhan dan pembebasan masyarakat secara keseluruhan.

Senin, 14 April 2008

Dari ‘Flow’ ke Harmoni Semesta

Flow adalah sebuah buku yang ditulis oleh Mihaly Czikszentmihalyi pada 1990. Flow melaporkan 25 tahun riset psikologis tentang kebahagiaan. Ia menyajikan rangkuman prinsip-prinsip yang membuat hidup bermakna. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini:
· Mengapa sebagian orang mencintai pekerjaan mereka, berbahagia dengan keluarga mereka, dan menikmati berjam-jam waktu yang diluangkan berpikir sendirian sementara orang-orang lain membenci pekerjaan mereka, bosan di rumah, dan takut sendirian?
· Bagaimana rutinitas-rutinitas hidup sehari-hari bisa diubah sehingga semua itu terasa semengasyikkan berski menuruni lereng gunung, sebermakna mengikuti suatu ritual suci?
Studi-studi yang telah dilakukan Mihaly dll. mengisyaratkan bahwa perubahan-perubahan itu adalah mungkin.

Setelah bertahun-tahun riset sistematis, waktunya tiba untuk menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari, dan menyajikannya kepada masyarakat. Flow telah sukses melebihi dugaan dalam mencapai maksud ini; namun, untuk menyempurnakan argumennya, banyak isu yang tidak bisa dijawab dalam buku itu masih harus dijelajahi.

Minat Mihaly pada kegembiraan berawal pada 1963 ketika dia sedang mengerjakan disertasi doktoral dalam perkembangan manusia di Universitas Chicago. Tesisnya berkisar seputar suatu isu sentral dalam kreativitas: Bagaimana orang-orang sampai menemukan pertanyaan-pertanyaan baru? Bagaimana mereka mengenali permasalahan yang belum pernah dipikirkan orang lain? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Mihaly memutuskan mengamati para seniman yang sedang bekerja. Dengan mencatat dan memotret bagaimana lukisan-lukisan berkembang dan lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada para seniman itu sesudahnya tentang apa yang berlangsung dalam pikiran mereka sementara mereka bekerja, Mihaly berharap mendapatkan wawasan berguna tentang proses kreativitas.

Meski risetnya tentang kreativitas terbukti sukses, muncul hal yang lebih penting lagi dari pengamatan-pengamatannya terhadap para seniman yang sedang bekerja. Yang mengesankannya adalah menjadi betapa totalnya para seniman itu larut (fana) dengan apa yang sedang muncul pada kanvas. Suatu keadaan setengah-sadar tampaknya merenggut mereka saat mereka berjuang untuk memberi bentuk pada visi mereka. Ketika sebuah lukisan mulai jadi menarik mereka tak bisa melepaskan diri darinya; mereka melupakan rasa lapar, kewajiban-kewajiban sosial, waktu, dan kelelahan sehingga mereka bisa terus mengerjakannya. Tetapi ketakjuban ini berlangsung hanya selama sebuah gambar tetap belum selesai; begitu ia berhenti berubah dan berkembang, sang seniman biasanya menyandarkannya di dinding dan mengarahkan perhatiannya ke kanvas kosong berikutnya.

Nampak jelas bahwa yang begitu memesona tentang lukisan bukanlah antisipasi terhadap sebuah gambar yang indah, melainkan proses melukis itu sendiri. Awalnya ini tampak aneh, karena teori-teori psikologi biasanya menganggap bahwa kita termotivasi baik oleh kebutuhkan untuk menyingkirkan suatu kondisi tak menyenangkan seperti lapar atau takut, atau oleh harapan akan imbalan mendatang seperti uang, status, atau gengsi. Gagasan bahwa seorang bisa bekerja sepanjang hari selama berhari-hari, demi alasan yang tidak lebih baik daripada untuk terus bekerja, tak punya kredibilitas. Tetapi kalau kita berhenti untuk merenungi, perilaku ini tidak sejanggal ia mungkin nampak awalnya. Para seniman bukan satu-satunya kelompok yang meluangkan waktu dan usaha pada suatu kegiatan yang punya sedikit ganjaran di luar dirinya. Bahkan, setiap orang mencurahkan banyak waktu melakukan hal-hal yang tak dapat dipahami kecuali kita menganggap bahwa kegiatan itu dinikmati demi kepentingannya sendiri. Anak-anak menghabiskan banyak hidup mereka bermain. Orang-orang dewasa juga bermain seperti catur, berolahraga, berkebun, belajar memainkan gitar, membaca novel, pergi ke pesta, berjalan di hutan—dan melakukan ribuan hal lain—bukan karena alasan yang bagus kecuali bahwa kegiatan-kegiatan itu mengasyikkan.

Tentu, selalu ada kemungkinan bahwa orang akan juga jadi kaya atau tenar dengan melakukan hal-hal ini. Si seniman mungkin mujur dan menjual kanvasnya ke sebuah museum. Sang gitaris mungkin belajar bermain begitu bagus sehingga seorang menawarinya kontrak rekaman. Kita mungkin memberi alasan berolahraga untuk tetap sehat, dan pergi ke pesta karena kemungkinan kontak bisnis atau petualangan seks. Tujuan-tujuan eksternal sering hadir di belakang, tapi tujuan-tujuan itu jarang jadi alasan utama mengapa kita menekuni kegiatan-kegiatan itu. Alasan utama untuk bermain gitar adalah bahwa ia menyenangkan, begitu pun berbincang dengan orang-orang di pesta. Tidak setiap orang suka bermain gitar atau pergi ke pesta, tapi mereka yang meluangkan waktu padanya biasanya melakukannya karena kualitas pengalaman saat terlibat dalam kegiatan-kegiatan ini secara intrinsik memuaskan. Singkatnya, sebagian hal mengasyikkan saja untuk dilakukan.

Namun, kesimpulan ini tidak membawa kita sangat jauh. Pertanyaan jelasnya adalah, Kenapa hal-hal ini mengasyikkan? Cukup aneh, saat kita mencoba menjawab pertanyaan itu, ternyata bahwa berkebalikan dengan yang akan telah kita duga, beragam kegiatan menyenangkan memiliki beberapa ciri yang sama. Jika seorang pemain tenis ditanya bagaimana rasanya saat suatu permainan berjalan baik, dia akan menggambarkan suatu keadaan pikiran yang sangat mirip dengan gambaran yang akan diberikan seorang pemain catur tentang turnamen yang baik. Begitu pun gambaran bagaimana rasanya larut dalam melukis, atau memainkan musik yang sulit. Menonton drama yang bagus atau membaca buku yang merangsang juga nampak menghasilkan keadaan mental yang sama. Mihaly menyebutnya “flow,” karena ini adalah tamsil yang diberikan beberapa responden untuk bagaimana rasanya saat pengalaman mereka paling menyenangkan—itu seperti dihanyutkan oleh suatu arus, segalanya bergerak mulus tanpa upaya.

Berlawanan dengan dugaan, “flow” biasanya terjadi bukan selama saat-saat santai kesenggangan dan hiburan, melainkan ketika kita terlibat aktif dalam suatu pekerjaan sulit, dalam suatu tugas yang merentang kemampuan-kemampuan fisik atau mental kita. Segala kegiatan bisa menghasilkannya. Mengerjakan pekerjaan menantang, menaiki puncak ombak besar, dan mengajari anak kita huruf-huruf abjad adalah macam-macam pengalaman yang memfokuskan seluruh wujud kita dalam suatu arus energi harmonis, dan mengentas kita keluar dari kecemasan-kecemasan dan kejenuhan yang menandai begitu banyak dari kehidupan sehari-hari.

Ternyata bahwa saat tantangan-tantangan tinggi dan ketrampilan pribadi digunakan sampai maksimal, kita mengalami keadaan kesadaran yang jarang ini. Gejala pertama flow adalah penyempitan perhatian atas suatu tujuan yang dibatasi jelas. Kita merasa larut, terpusat, asyik. Kita tahu harus melakukan apa, dan kita mendapat umpan-balik segera tentang seberapa baik kita melakukan. Si pemain tenis tahu setelah tiap pukulan apakah bolanya benar-benar pergi kemana dia ingin bola itu pergi; si pianis tahu setelah tiap pijitan keyboard apakah nada-nadanya terdengar seperti seharusnya. Bahkan suatu pekerjaan yang biasanya membosankan, begitu tantangan-tantangannya diseimbangkan dengan ketrampilan orangnya dan tujuan-tujuannya diperjelas, bisa mulai mengasyikkan.

Kedalaman konsentrasi yang dibutuhkan oleh keseimbangan halus tantangan-tantangan dan ketrampulan mencegah khawatir tentang soal-soal yang sementara tak relevan. Kita lupa diri dan jadi larut dalam kegiatan itu. Seandainya si pendaki-tebing ingin khawatir tentang pekerjaannya atau kehidupan asmaranya saat dia sedang bergantung dengan ujung-ujung jarinya di atas jurang, dia akan segera jatuh. Si musisi akan memetik nada yang salah, si pemain catur akan kalah.

Penggunaan ketrampilan-ketrampilan yang berpadanan memberikan suatu rasa kontrol terhadap tindakan-tindakan kita, tetapi karena kita terlalu sibuk untuk memikirkan diri sendiri, tidak masalah apakah kita berkuasa atau tidak, apakah kita menang atau kalah. Sering kita merasakan transendens, seolah-olah batas-batas dari diri telah diluaskan. Sang pelaut merasa menyatu dengan perahunya, angin, dan laut; sang penyanyi merasakan harmoni semesta yang misterius. Dalam momen-momen itu kesadaran akan waktu lenyap, dan waktu nampak berlalu pesat tanpa kita sadari.

Keadaan kesadaran ini, yang mendekati apa yang kita sebut kebahagiaan, bergantung pada 2 himpunan syarat. Pertama adalah eksternal. Kegiatan-kegiatan tertentu lebih condong menghasilkan flow daripada lainnya karena (1) mereka punya tujuan-tujuan konkrit dan aturan-aturan yang bisa dikelola, (2) mereka memungkinkan menyesuaikan peluang-peluang untuk tindakan dengan kapasitas kita, (3) mereka memberikan informasi jelas tentang seberapa baik kita berbuat, dan (4) mereka menyingkirkan gangguan-gangguan dan memungkinkan konsentrasi. Permainan olahraga, penampilan seni, dan ritual-ritual keagamaan adalah contoh bagus dari “kegiatan-kegiatan flow” macam itu.

Tapi salah satu temuan terpenting dari studi-studi Mihaly dkk. adalah bahwa segala kegiatan bisa menghasilkan pengalaman flow optimal, selama ia memenuhi persyaratan tadi. Para dokter menggambarkan melakukan bedah sebagai suatu “olahraga kontak-badan” adiktif yang serupa dengan berlayar atau berski; para pemrogram komputer sering tak bisa memisahkan diri dari keyboard mereka. Bahkan, orang-orang nampaknya mendapat lebih banyak flow dari apa yang mereka lakukan pada pekerjaannya daripada dari aktivitas-aktivitas senggang dalam waktu luang.

Himpunan syarat kedua yang memungkinkan terjadinya flow adalah dari dalam orangnya. Sebagian orang punya kemampuan aneh untuk menyesuaikan ketrampilan mereka dengan peluang-peluang di sekitar mereka. Mereka menetapkan tujuan-tujuan yang terkelola bagi diri sendiri sekalipun saat nampaknya tidak ada apa pun untuk mereka kerjakan. Mereka bagus dalam membaca umpan-balik yang orang lain tidak perhatikan. Mereka bisa berkonsentrasi dengan mudah dan tidak terganggu. Mereka tidak takut kehilangan diri, sehingga ego mereka bisa dengan mudah keluar dari kesadaran. Orang-orang yang telah belajar mengendalikan kesadaran dengan cara-cara ini memiliki “kepribadian flow.” Mereka tak perlu bermain untuk ada dalam flow; mereka bisa bahagia bahkan saat mereka bekerja di jalur perakitan atau sedang merana dalam kesendirian.

Dalam Flow Mihaly menggambarkan orang-orang yang menjadikan hidup mereka relatif bahagia dan bermakna dengan memasukkan sebanyak mungkin flow ke dalam pekerjaan mereka dan hubungan-hubungan mereka. Sebagian orang ini adalah para pengembara tunawisma sedangkan lainnya telah menderita tragedi-tragedi memilukan seperti kebutaan atau kelumpuhan; namun semua telah mampu mengubah kondisi-kondisi yang tampaknya tanpa harapan menjadi kehidupan yang tenang penuh sukacita.

Tetapi Mihaly juga menyatakan fakta bahwa sulit untuk membangun suatu kehidupan bahagia dengan hanya menambahkan serangkaian pengalaman flow. Dalam hal ini keseluruhannya tentu lebih daripada jumlah bagian-bagiannya. Seorang seniman mungkin melukis selama puluhan tahun dan mencintai tiap menitnya, namun menjadi depresi dan tanpa harapan dalam usia paruh-baya. Untuk mengubah keseluruhan hidup menjadi suatu pengalaman flow yang terpadu, kita harus memiliki keyakinan terhadap suatu sistem makna yang memberi makna pada wujud kita.

Dahulu, keyakinan biasanya didasarkan pada penjelasan-penjelasan agama. Bagaimana dunia berawal, mengapa kita harus menderita, apa akan terjadi setelah kita mati—pertanyaan-pertanyaan dasar ini dijawab oleh kisah-kisah terbaik yang bisa dikarang orang-orang, dalam upaya untuk memberi tertib pada kekacauan dan ketaksengajaan kehidupan. Kisah-kisah mitos dari semua agama membahas soal-soal ini, dan mereka kerap tiba pada kesimpulan logis bahwa pasti ada satu Tuhan, atau banyak dewa, yang bertanggung jawab atas nasib kita.

Berdasarkan kisah-kisah ini, setiap agama telah mengembangkan kaidah-kaidah untuk hidup, kerap bijak dalam konsekuensi-konsekuensinya, yang memungkinkan orang-orang menjalani kehidupan yang serasi. Makna-makna yang telah ditemukan umat manusia melalui agama telah berperan fundamental, dan mungkin tak tergantikan dalam sejarah evolusi kita. Kita akan jadi macam hewan yang amat berbeda seandainya nenek moyang kita telah gagal membayangkan sebuah kosmos yang bermakna.

Tetapi kini, di awal milenium ketujuh setelah kebangkitan Adam, sulit untuk meyakini kisah-kisah tradisi itu. Kandungan harfiah dari naskah-naskah suci, dari ritual-ritual kuno, dari aturan-aturan seperti yang melarang perceraian atau aborsi, nampaknya makin dan makin berlawanan dengan hal-hal lain yang telah kita temukan tentang dunia. Sedikit orang kini percaya bahwa Bumi adalah rata atau di pusat tata surya. Meskipun banyak sekali orang masih percaya bahwa Bumi baru ada beberapa ribu tahun Sebelum Masehi, dan bahwa manusia diciptakan sebagaimana bentuknya kini dari segumpal tanah liat, keyakinan-keyakinan macam itu cenderung menjadi semakin tidak pada tempat dan waktunya—setidaknya dalam bentuk harfiahnya—seiring setiap generasi baru.

Penerusan kepercayaan-kepercayaan tradisional adalah suatu masa berbahaya bagi segala kebudayaan. Dalam mencampakkan suatu penjelasan agamis harfiah, menjadi mudah untuk mendiskreditkan kearifan yang sering tersatukan dengannya. Ketika kronologi dan hubungan sebab-akibat dari Injil atau Alqur’an menjadi disangsikan, begitu pun perintah-perintahnya menentang ketamakan, kekerasan, zina, dan kesombongan. Untuk sementara mereka yang menolak seluruh pandangan-dunia tradisional merasa terbebas, dan girang berada di sebuah tanah baru tanpa aturan atau batasan-batasan. Namun, segera menjadi jelas bahwa hidup dalam kebebasan mutlak adalah mustahil maupun menguntungkan. Tanpa aturan-aturan berdasarkan pengalaman silam adalah mudah untuk membuat kesalahan-kesalahan mahal; tanpa pengertian tentang tujuan akhir sulit untuk mempertahankan keberanian ketika tragedi-tragedi hidup yang tak terhindari mendera. Tapi di manakah kita temukan suatu keyakinan yang bisa kita yakini dalam milenium ketujuh ini?

Flow berakhir dengan usulan bahwa dengan lebih memahami masa lalu evolusioner kita, kita bisa menghasilkan azas-azas bagi suatu sistem makna yang layak, suatu keimanan yang bisa memberi tertib dan tujuan pada hidup kita di masa depan. Mengenali diri sendiri adalah prestasi terbesar dari spesies kita. Dan untuk memahami diri sendiri—terbuat dari apa kita, motif-motif apa yang menggerakkan kita, dan tujuan-tujuan apa yang kita impikan—pertama-tama memerlukan pemahaman tentang masa lalu evolusioner kita. Hanya di atas landasan itulah kita bisa membangun suatu masa depan yang bermakna dan stabil. Guna lebih jauh mengembangkan keyakinan inilah pandangan-dunia Harmoni Semesta dikembangkan.

Sabtu, 12 April 2008

Mengapa Dunia Memerlukan Paradigma Sains Baru "Harmoni Semesta"?

Harmoni Semesta (HS) adalah nama untuk suatu paradigma bagi Sains Baru.

Paradigma adalah suatu kerangka konseptual sederhana yang di seputar itu suatu sistem kompleks pemikiran atau perilaku bisa ditata. Paradigma adalah scaffolding (penyangga) bagi gagasan-gagasan. Karena naluriah, dikenal secara universal, dan mudah dimengerti, paradigma memberikan suatu titik acuan sentral bagi masyarakat untuk menilai diri.

Sains Baru adalah perkembangan dari Sains Modern. Sains Modern dibangun di atas paradigma Newton. Paradigma Newton memiliki 3 pilar utama: reduksionisme (yaitu paham yang melihat segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian; pemahaman terhadap setiap bagian akan memberikan gambaran lengkap tentang sesuatu), determinisme (paham bahwa semesta bekerja menurut hukum sebab-akibat yang pasti); obyektivisme (paham bahwa kebenaran bersifat obyektif, tidak bergantung pada pengamat dan cara mengamati).

Ketiga pilar itulah yang menopang bangun kosmologi Newton untuk menggantikan paradigma Aristoteles-Ptolemus yang berbau mistik dan teologi Kristiani yang tidak memiliki dasar filsafat. Kosmologi Newton memandang semesta tidak lebih dari suatu sistem mekanis yang tunduk pada hukum-hukum matematika dan ilmu pasti. Semesta dianggap mirip dengan arloji raksasa. Semua hal bisa diprediksi secara kuantitatif, sehingga tidak menyisakan sedikit pun ruang bagi pertimbangan-pertimbangan kualitatif, termasuk mental keruhanian. The Invisible Being (Zat Yang Maha Gaib) tidak dipercaya mempengaruhi atau mengintervensi tatakerja Semesta.

Semangat ilmiah telah menggeser upaya pencarian mendasar tentang hakikat semesta. Pertanyaan filosofis “apa” dan “mengapa” dianggap tidak berguna. Upaya pencarian telos (sebab terakhir, sebagaimana diajarkan Aristoteles) dinafikan. Yang lebih penting dijawab adalah “bagaimana” suatu fenomena alam terjadi—yaitu cara kerjanya. Jawaban pertanyaan “bagaimana” ini menjadi sangat relevan karena membuka peluang untuk lebih memahami alam sebagai jalan untuk menaklukkannya agar mengabdi pada kepentingan manusia. Jika pada era sebelumnya (yaitu Abad Pertengahan) akal dan nalar dijadikan pelayan bagi kepentingan iman kepercayaan, pada zaman ini akal dan nalar berhasil membebaskan diri, menduduki posisi terhormat dan memilih alam untuk melayaninya.

Pelayanan alam membuat manusia semakin terlena, kita semakin asyik menikmatinya dan akhirnya semakin melupakan upaya pencarian kita untuk mengetahui hakikat semesta itu. Secara tidak sadar kita telah mengulangi kesalahan Abad Pertengahan yang menyingkirkan upaya pencarian itu demi kepentingan iman. Bahkan kesalahan kita saat ini lebih besar karena kita mengabaikan pencarian itu hanya karena terlena oleh kenikmatan pelayanan alam yang nilainya jauh lebih rendah daripada iman.

Sains Modern telah berhasil memberikan sumbangan yang melimpah pada peradaban manusia. Tetapi di balik itu muncul kehampaan makna dan kekosongan ruhani. Peradaban buah Sains Modern telah sangat berhasil memanfaatkan secara optimal potensi akal manusia, namun telah menelantarkan sisi lainnya yang lebih kaya dan lebih bermakna. Dalam hingar-bingar teknologi, manusia menjadi semakin terasing dari lingkungannya, bahkan menjadi asing dengan dirinya sendiri. Inilah yang mendorong manusia untuk kembali meneruskan proses pencariannya.

Perkembangan Sains Modern mencengangkan sekaligus membuat gerah dan frustrasi banyak kalangan. Mencengangkan karena dalam waktu relatif singkat mampu menguak begitu banyak rahasia semesta yang bermuara pada teknologi yang memberikan kenyamanan kepada manusia. Membuat gerah karena perkembangan itu menimbulkan berbagai dampak negatif, walaupun bagi kelompok penganut fanatik paradigma Newton dampak itu bukanlah masalah serius karena pasti suatu saat akan bisa dihilangkan atau setidaknya dikurangi oleh temuan teknologi lainnya.

Yang menimbulkan frustrasi adalah ternyata perkembangan Sains Modern bukannya semakin memperkuat fondasi bangunan keilmuannya, tetapi secara langsung maupun tidak langsung telah menggerogoti dirinya sendiri, menggoyahkan pilar-pilar tempatnya bertumpu, sehingga diramalkan pada saatnya bangunan keilmuan itu akan ambruk.

Berbagai temuan sains telah memaksa kita meninjau kembali, bahkan merevisi, pilar-pilar paradigma Sains Modern. Temuan dalam bidang fisika kuantum (berupa paradoks penampakan elektron) menghapus doktrin obyektivisme. Temuan Bell yang diperkuat oleh temuan Alain Aspect di Paris menggoyahkan doktrin reduksionisme, mengukuhkan paham holisme/interkoneksitas dan sekaligus membuat doktrin determinisme kehilangan pijakan. Determinisme juga lebih jauh digugat oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg yang menyatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa menentukan secara tepat posisi dan kecepatan elektron secara bersamaan. Juga oleh fenomena pada tingkat subatom yang memperlihatkan elektron yang meloncat dari satu lintasan ke lintasan lain tanpa sebab yang mendahuluinya.

Teori Chaos, yang memaksa kita memperhatikan perubahan-perubahan kecil karena memiliki potensi nyata untuk mengubah masa depan Semesta (disebut butterfly effect), membuat kita harus menata ulang metode statistika. Sementara itu, Semesta yang terbukti tidak linier dan saling terkait secara dinamis membuat pembidangan yang kita lakukan terhadap ilmu, sesuai dengan anjuran Aristoteles, menjadi tidak relevan, bahkan menciptakan masalah baru.

Semesta juga ternyata bersifat partisipatif sekaligus tertutup. Semesta hanya mau menjawab pertanyaan sesuai dengan cara kita mengajukannya, tetapi menyembunyikan yang lain. Fakta ini membuat metode penelitian perlu revisi mendasar, meninggalkan pendekatan interogatif dan menggantikannya dengan pendekatan keterlibatan atu dialog. Yang lebih penting, pendekatan ilmiah perlu dilengkapi dengan pendekatan lain yang bersifat kualitatif, agar kita bisa memanfaatkan secara optimal potensi kemanusiaan kita, yaitu kecerdasan ruhani dan emosi.

Pembentukan paradigma Harmoni Semesta diharapkan mampu menghadirkan dimensi baru yang akan lebih memperkaya makna kehidupan. Harapan lebih tingginya adalah paradigma HS akan mampu mengantar kita lebih dekat kepada hakikat Semesta yang kita cari sejak puluhan abad silam.

Paradigma HS ditopang oleh 3 pilar utama: (1) harmonisme berpusat-kenabian (yaitu kepercayaan bahwa Semesta beredar pada lintasannya masing-masing mengitari pusat kenabian yang memberikan energi bagi peredarannya); (2) probabilisme (keyakinan bahwa kerja Semesta tidak hanya diatur oleh hukum-hukum alam yang bersifat pasti, tetapi juga oleh hukum-hukum agama yang hubungan sebab-akibatnya sulit ditentukan); (3) relativisme (keyakinan bahwa “kebenaran” tidaklah bersifat obyektif, melainkan relatif, karena sangat bergantung pada pengamat dan cara mengamati. Kebenaran mutlak atau obyektif hanyalah milik Tuhan atau dari sudut pandang Tuhan.)

Pilar Harmonisme berpusat-kenabian adalah lawan dari reduksionisme paradigma Newton; probabilisme lawan dari determinisme; dan relativisme menggantikan obyektivisme.

Rabu, 09 April 2008

Harmoni Semesta versi 1.01

Harmoni atau keselarasan adalah maksud akhir penciptaan Semesta. Ia mencakup kondisi kemakmuran, keadilan, keamanan, kedamaian, dan keindahan.

Semesta adalah kita semua manusia (sebagai individu, keluarga, komunitas & organisasi, yang
semuanya menyusun Masyarakat) dan lingkungan alam kita.

Evolusi adalah proses yang harus dialami Semesta untuk mencapai Harmoni. Semesta membutuhkan Energi untuk menempuh Evolusi. Sumber Energi ini berupa Zat/Materi (sebagai makanan, minuman & udara bagi Semesta individu dan keluarga; sebagai sumberdaya alam bagi Semesta organisasi dan komunitas) dan Sistem Kepercayaan Ketuhanan. Semesta secara alami menghajatkan 2 sumber Energi ini untuk memelihara keberadaannya dan sukses menjalani evolusi. Karena dua hal ini merupakan kebutuhan azasi Semesta, Tuhan menyediakannya sebelum Semesta memintanya atau menciptakannya.

Untuk menyediakan Sistem Kepercayaan Ketuhanan, Tuhan menurunkan agama (dalam bentuk firman-firman yang memberikan seperangkat ajaran tentang kepercayaan dan perilaku) DAN mengutus nabi-nabi/rasul-rasul yang berfungsi menegakkan agama. Para nabi/rasul dengan demikian menjadi teladan bagi pengamalan yang benar dari agama. Karena itu, penolakan terhadap para nabi/rasul menutup jalan bagi Semesta untuk mencapai Harmoni.

Tuhan menyediakan 2 sumber Energi ini dalam kondisi alami yang murni, baik atau sehat. Tapi ke-2 sumber Energi ini bisa juga mengalami kerusakan yang menjadikannya tidak murni, baik atau sehat. Kerusakan ini bisa terjadi dalam 2 cara: secara alami, dan oleh campur tangan atau ulah manusia.

Dalam hal agama, kerusakan alami terjadi karena agama itu tidak lagi sesuai dengan atau memenuhi kebutuhan masyarakat yang kepadanya agama itu diturunkan; Kerusakan karena campur tangan manusia terjadi karena perkataan manusia ikut campur dalam perkataan dari perangkat ajaran yang didasarkan pada firman, ATAU karena penafsiran manusia terhadap perangkat ajaran agama salah sehingga mengakibatkan pengamalan agama yang salah. Bisa terjadi agama yang benar mendapat penafsiran yang salah oleh manusia; dalam hal ini, bukan agamanya yang rusak, melainkan manusianya.

Sumber Energi yang alami (berupa materi dan agama) menghasilkan Energi positif (+), sedangkan sumber Energi yang rusak menghasilkan Energi negatif (-). Dari sinilah pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakan dari Semesta mulai mengambil corak positif/baik atau negatif/buruk.

Dalam proses Evolusi (yang disebut pembelajaran) tiada akhir yang membawa pada Harmoni, Energi (+) harus digunakan oleh unsur-unsur Semesta untuk bekerja dalam 3 sektor kebaktian, yaitu sektor publik, sektor swasta (bisnis), & sektor nirlaba. Pekerjaan ini melibatkan memikirkan hakikat dan realitas Semesta DAN untuk secara DIALOGIS & INTERAKTIF terlibat dalam perilaku-perilaku evolusioner (yang disebut pembangunan) dalam jalan atau alur yang batas-batasnya juga sudah diberikan oleh Tuhan. Ketika unsur-unsur Semesta tidak mengamalkan perilaku-perilaku ini (karena tidak atau kurang memperoleh Energi), atau mereka berperilaku keluar dari batas-batas ini (karena memperoleh Energi (-), terciptalah Konflik antarunsur. Setiap Konflik merupakan ancaman terhadap keberlangsungan keberadaan dari unsur-unsur yang terlibat. Jika unsur-unsur yang berkonflik tidak kembali ke koridor Evolusi yang mengarah pada Harmoni, kepunahan mereka adalah takdir pamungkas.

Dalam kerangka HS, Sektor Publik berfungsi menciptakan dan menjaga alur bagi proses Evolusi,
serta memberikan pelayanan kemanusiaan. Termasuk dalam fungsi penjagaan alur adalah fungsi penegakan dan korektif; Sektor Swasta berfungsi menciptakan dan menjaga kekayaan Semesta; Sektor Nirlaba berfungsi membantu Sektor Publik agar berfungsi dengan baik. Bantuan ini bisa berupa dukungan, dan pengawasan (penganjuran, pengingatan). Gaya penggerak bagi Sektor Publik dan Sektor Nirlaba adalah Ketidaktertiban/Kekacauan; gaya penggerak bagi Sektor Swasta adalah keuntungan (laba) dan persaingan.

Harmoni bukanlah kondisi statis yang melingkupi Semesta pada waktu yang sama, seperti siang
melingkupi satu belahan Bumi sementara malam melingkupi belahan satunya. Melainkan, seperti halnya siang melingkupi malam dan malam melingkupi siang, Harmoni dicapai hanya oleh unsur-unsur Semesta yang menjalani proses Evolusi tanpa akhir. Karena itu, perjalanan Semesta menuju Harmoni bersifat unik karena bergantung pada pengetahuan tentang tujuan perjalanan, Energi atau bekal perjalanan, Wahana perjalanan, dan pengetahuan atas peta perjalanan dari Semesta.

Singkatnya, Harmoni Semesta adalah kondisi yang hidup dan dinamis dan terkhusus-Semesta, yang dihasilkan dari tindakan-tindakan membangun secara dialogis dan interaktif oleh para individu, keluarga, komunitas dan organisasi pembelajar dalam sektor-sektor publik, swasta dan nirlaba, yang ditenagai secara positif oleh kasih-sayang Tuhan Yang Mahaesa.

Senin, 07 April 2008

Mari Bersatu Menuju Harmoni Semesta

Blog ini memiliki misi agung menghimpun pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakan dari para intelektual dan organisasi-organisasi untuk berkontribusi mewujudkan Harmoni Semesta (HS). Harmoni atau keselarasan adalah maksud akhir penciptaan Semesta. Ia mencakup kondisi kemakmuran, keadilan, keamanan, kedamaian, dan keindahan.

Semesta adalah kita semua manusia (sebagai individu, keluarga, & organisasi, yang ketiganya menyusun Masyarakat) dan lingkungan kita. Unsur-unsur Semesta bekerja dalam 3 sektor kebaktian, yaitu sektor publik, sektor swasta (bisnis), & sektor nirlaba.

Evolusi adalah proses yang harus dialami Semesta untuk mencapai Harmoni. Semesta membutuhkan Energi untuk menempuh Evolusi. Sumber Energi ini berupa Zat/Materi (sebagai makanan, minuman & udara bagi Semesta individu dan keluarga; sebagai listrik, bahan bakar, dan data/informasi bagi Semesta organisasi dan masyarakat) dan Sistem Kepercayaan Ketuhanan. Semesta secara alami menghajatkan 2 sumber Energi ini untuk memelihara keberadaannya dan sukses menjalani evolusi. Karena dua hal ini merupakan kebutuhan azasi Semesta, Tuhan menyediakannya sebelum Semesta memintanya atau menciptakannya.

Tuhan menyediakan 2 sumber Energi ini dalam kondisi alami yang murni, baik atau sehat. Tapi ke-2 sumber Energi ini bisa juga mengalami kerusakan yang menjadikannya tidak murni, baik atau sehat. Kerusakan ini bisa terjadi dalam 2 cara: secara alami, dan oleh campur tangan atau ulah manusia. Sumber Energi alami menghasilkan Energi positif (+), sedangkan sumber Energi yang rusak menghasilkan Energi negatif (-). Dari sinilah pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakan dari unsur-unsur Semesta mulai mengambil corak positif/baik atau negatif/buruk.

Dalam proses Evolusi (yang disebut pembelajaran) tiada akhir yang membawa pada HS, Energi (+) harus digunakan oleh unsur-unsur Semesta untuk memikirkan hakikat dan realitas Semesta DAN untuk secara DIALOGIS & INTERAKTIF terlibat dalam perilaku-perilaku evolusioner (yang disebut pembangunan) dalam koridor atau jalan yang batas-batasnya juga sudah diberikan oleh Tuhan. Ketika unsur-unsur Semesta tidak mengamalkan perilaku-perilaku ini (karena tidak atau kurang memperoleh Energi), atau mereka berperilaku keluar dari batas-batas ini (karena memperoleh Energi (-), terciptalah Konflik antarunsur. Setiap Konflik merupakan ancaman terhadap keberlangsungan keberadaan dari unsur-unsur yang terlibat. Jika unsur-unsur yang berkonflik tidak kembali ke koridor Evolusi yang mengarah pada Harmoni, kepunahan mereka adalah takdir pamungkas.

Singkatnya, Harmoni Semesta adalah kondisi yang hidup dan dinamis, yang dihasilkan dari tindakan-tindakan membangun secara dialogis dan interaktif oleh para individu, keluarga dan organisasi pembelajar dalam sektor-sektor publik, swasta dan nirlaba, yang ditenagai secara positif oleh kasih-sayang Tuhan Yang Mahaesa.

Bila anda atau organisasi anda memiliki misi serupa (yaitu berperan mewujudkan HS) meski pada skala Semesta sekecil apa pun, atau ingin mulai menempuh jalan ini, maka kita bisa memulai hubungan persahabatan untuk menjalani proses Evolusi menuju Harmoni Semesta.

Minggu, 06 April 2008

Rokok: Akar Sebab Dari Akal & Ruh Sakit

Selain ruh yang ditakdirkan untuk hidup kekal, akal adalah satu-satunya pemberian Tuhan kepada manusia yang, bila digunakan pada tempatnya, akan membedakan kita dengan hewan-hewan lain. Akal yang tak pernah atau jarang digunakan, atau akal yang disalahgunakan mengantarkan manusia ke tingkat yang lebih buruk daripada hewan rendah sekalipun. Kebinasaan umat-umat penyembah berhala membuktikan ini. Begitu pun bangsa-bangsa yang durhaka kepada rasul-rasul mereka yang memang diutus untuk membimbing akal.

Meski peradaban dunia kini sudah sangat maju, sedemikian rupa sehingga akan sangat mencengangkan bangsa-bangsa zaman para nabi seandainya mereka hidup kembali, tidak demikian halnya dengan kebudayaan dunia. Tidak digunakannya akal dan juga penyalahgunaan akal pada masa ini sama parahnya dengan, bahkan mungkin lebih parah daripada, yang berlaku belasan abad lalu. Buktinya adalah, dunia masih jauh dari keadaan ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Dunia masih penuh masalah kemanusiaan. Kemiskinan dan akibat-akibatnya… konflik dan akibat-akibatnya… ekses-ekses pembangunan dll.

Yang menarik perhatian saya di sini bukanlah cara kerja akal kita yang sakit dalam menghadapi masalah sosial tertentu, yang menyebabkan masalah itu tidak kunjung selesai, melainkan apa yang menjadikan akal itu sakit pada awalnya dan bagaimana ia menjadi sakit.

Singkat kata, penyebab akal sakit adalah segala yang sakit yang kita masukkan ke dalam diri kita (yang mencakup tubuh jasmani, akal dan ruh). Asupan diri berupa zat (sebagai makanan, minuman, dan udara) dan sistem nilai, kepercayaan atau akidah. Manusia secara alami menghajatkan zat hidup dan sistem nilai ini untuk memelihara keberadaannya di Bumi ini dan sukses menjalani evolusi. Karena dua hal ini merupakan kebutuhan azasi manusia, Tuhan menyediakannya bagi kita sebelum kita memintanya atau berikhtiar untuk mendapatkannya (dalam arti menciptakannya).

Pertanyaan besar adalah ‘Bagaimana asupan ini menjadi tidak sehat sehingga menyebabkan akal sakit?’ padahal Tuhan menyediakan asupan ini dalam kondisi alami yang baik dan sehat. Jawabnya adalah asupan ini mengalami kerusakan yang menjadikannya tidak baik dan tidak sehat. Kerusakan asupan ini bisa terjadi dalam 2 cara: secara alami, dan oleh campur tangan manusia.

Di sini saya ingin menarik perhatian anda pada suatu asupan buatan-manusia (yang tentu berarti tidak sehat, bahkan merusak) yang entah bagaimana kini sampai bisa ‘menguasai’ hajat hidup banyak orang. Demikian kuat kuasa asupan semu ini sehingga sangat mewarnai perabadan (yaitu ekonomi-politik) dan budaya dunia. Asupan itu adalah rokok.

Untuk menilai besar dari masalah rokok ini, pertama kita mungkin bisa melihat nilai ekonominya di tingkat nasional. Saya belum punya data tentang omzet nasional rokok per tahun, tetapi kemungkinan besar puluhan triliun rupiah. (Omzet narkoba saja, yang jelas-jelas sudah dijadikan musuh bangsa dan negara, Rp 30 triliun per tahun; rokok, yang masih legal, logisnya beromzet lebih besar.) Dengan omzet sebesar itu, negara meraup triliunan rupiah dalam cukai dan pajak hanya dari satu komoditi ini.

Ekonomi rokok juga menyerap jutaan tenaga kerja dalam bidang pasokan, produksi, dan distribusi. Bahkan, karena industri rokok di Indonesia begitu padat-karya, kota-kota tempat pabrik rokok besar berdiri seperti Kediri dan Kudus menjadi ‘kota rokok’, kota di mana ekonomi-politik dan budaya rokok mendominasi.

Saya berpendapat bahwa selama ekonomi-politik rokok tembakau masih sangat besar dan kuat baik secara nasional maupun global, kita tidak bisa berharap usaha-usaha reformasi dalam banyak aspek pembangunan masyarakat akan berarti! Kenapa? Karena saya yakin di dalam kedigdayaan industri rokoklah terletak salah satu akar dari akal sakit! Dengan kata lain, di dalam keruntuhan industri rokoklah terletak harapan akan perbaikan ekonomi-politik dan budaya.

Inilah masalahnya: Saya yakin rokok hakikatnya sama saja dengan narkoba, sama-sama merusak peradaban dan kebudayaan. Dalam segi-segi tertentu, ia bahkan jauh lebih berbahaya daripada narkoba. Sejarah mereka pun mungkin berawal pada abad yang sama, yaitu abad ke-18 atau 19. Hanya satu perbedaan BESAR di antara mereka: Rokok masih legal (meskipun di banyak negara telah diregulasi) sementara narkoba telah dijadikan ilegal. Mengapa rokok tidak kunjung di-ilegalkan pemerintah? Di sinilah akal sehat kita seharusnya sangat terusik.

Seorang alim besar abad ke-19 yang diakui sebagai mujadid atau pembaharu dan memiliki hubungan istimewa dengan Tuhan menyatakan begini: ‘Seandainya rokok ada di zaman Rasulullah saw., tentu beliau akan mengharamkannya.’ Ini secara tersirat berarti alim ini mengharamkan rokok.

Saya yakin rokok (dan segala barang lainnya yang manfaatnya sedikit sekali, atau malah tidak ada, dibandingkan keburukannya) tak kunjung dinyatakan ilegal karena persepsi keliru kebanyakan orang tentang rokok. Persepsi itu terbentuk, pertama karena kebanyakan orang tidak merasakan atau melihat dampak kesehatan serius, bahkan fatal, dari merokok bahkan 3 batang sehari dalam jangka waktu relatif singkat di mana mereka bisa melihat akibat fatal konsumsi narkoba dari kondisi awal kesehatan yang sama. Kita jarang mengetahui orang-orang mati dalam 5-10 tahun merokok sebanyak kita dengar mereka mati dalam 5 tahun ‘menarkoba’. Kenyataan ini mungkin disebabkan narkoba bekerja di tingkat sistem saraf (yang relatif lebih telak dampaknya) sementara rokok lebih banyak berdampak pada organ atau jaringan.

Mertua saya, yang meninggal pada 4 April 2008 pada usia 74 tahun, sejak November 2007 menderita radang paru kronis. Kondisi yang tak lagi bisa diperbarui. Sangat susah untuk bersuara dan bernafas. Tentu ini tidak diakibatkan dari merokok sebulan atau bahkan setahun yang lalu. Karena beliau perokok ‘kawakan’, ini pasti akibat kumulatif selama puluhan tahun. Dan insiden penyakit inilah yang akhirnya bisa menghentikannya dari merokok. Meski tidak ada kata terlambat untuk berbuat baik, kesadaran ‘paksaan’ macam ini sangat kecil nilainya secara sosial.

Kedua, kita belum bisa mengaitkan insiden penyakit atau kematian tertentu langsung pada merokok sebagaimana kita bisa pada menarkoba (terutama dalam kasus overdosis). Rantai sebab-akibat yang lebih panjang ini menjadikan merokok problem yang ‘kurang mendesak’. Persepsi ini ditambah pertimbangan keuntungan ekonomi dari industrialisasi rokok membuat rokok tidak di-ilegalkan.

Tapi, inilah kondisi-kondisi yang diabaikan masyarakat :

1. Logikanya, segala asupan yang hanya merugikan jasmani, tapi tidak merugikan akal dan ruh, tidak akan diharamkan oleh Tuhan. Jadi, segala asupan yang diharamkan oleh agama pasti berakibat buruk bukan saja pada tubuh, tapi juga pada akal sehat dan, lebih-lebih ruh. Ini karena dalam pandangan Tuhan, akal dan ruh yang sakit lebih urgen daripada jasmani yang sakit. Dan kematian akal dan ruh memicu murka Tuhan, sedangkan kematian jasmani tidak. Kalau anda mati karena ditabrak sopir bus yang mabuk, misalnya, Tuhan tidak akan murka pada anda menyangkut sebab kematian ini. Tapi, jika anda mati karena meminum racun serangga karena depresi atau stres berat (yang menandakan kehampaan ruhani anda), kemurkaan Tuhan menanti anda di alam baka juga di akhirat. Kalaulah hendak digali, tentu akan banyak makrifat dan filsafat di balik petunjuk ini.

2. Kalaupun agama tidak perlu dibawa-bawa dalam soal ini, akal sehat dan nurani bersih akan menolak ‘kebenaran’ merokok. Betapa tidak, kita sengaja mengeluarkan uang untuk memasukkan ratusan racun ke dalam diri kita! Anak-anak saja tidak ada yang sengaja melakukan ini. Ini adalah kebodohan paripurna!

3. Masyarakat (termasuk pemerintah) tidak sampai melihat dampak-dampak buruk yang halus dari merokok terhadap kesejahteraan lebih luas dari bangsa dan negara. Padahal dampak-dampak buruk ini bisa puluhan kali lipat nilainya ketimbang dampak-dampak ‘baik’ dari segi ekonomi. Ibaratnya, kita mencari air setetes untuk kelak kehilangan air segelas!

4. Rokok dihisap oleh kelompok-kelompok masyarakat yang lebih luas daripada narkoba, termasuk oleh kalangan-kalangan yang, dari sudut pandang etika, seharusnya mahrum (luput) dari keterlibatannya, seperti kaum ulama, intelektual, dan olahragawan. Di media cetak pernah ada foto menteri pendidikan dari kabinet yang lalu memegang rokok (yang tentu untuk dihisap) dalam suatu acara publik. Gambar yang sama juga ditayangkan di televisi. Juga pernah ada foto seorang kyai tenar mengepulkan asap rokok dalam liputan wawancaranya. Yang terbaru adalah foto-foto seorang bakal calon gubernur Jatim mengisap pipa dan juga menyodorkan api dari pemantik kepada para kyai pesantren dalam acara sowan politiknya.

5. Ekonomi rokok juga mendanai kegiatan-kegiatan olahraga, kompetisi, ajang-ajang keilmuan dsb. yang mengandung semangat yang bertolak-belakang dengan hakikat rokok sendiri. Dari sisi sponsor, ini seperti pencucian uang (yang adalah ilegal), sedang di sisi penerima sokongan, ini bisa menandakan keluguan, atau kemunafikan ekonomi, yang tentu tidak disukai Tuhan, dan karena itu sedikit berkahnya.

6. Satu ‘kelebihan’ merokok (yang sama sekali bukan sumber kebanggaan) dibandingkan menarkoba adalah, kalau resiko kesehatan dari konsumsi narkoba diderita oleh pemakainya sendiri, merokok bisa merusak kesehatan orang-orang di sekitar si perokok, meskipun mereka tidak merokok. Ini akibat asap rokok (yang mengandung ratusan senyawa berbahaya) terhirup oleh mereka. Bahkan konon, para ‘perokok pasif’ ini lebih menderita daripada si perokok langsungnya. Ini artinya rokok lebih berbahaya daripada narkoba.

Ke-6 poin tadi saya kira cukup untuk membuat pemerintah pusat berpikir lagi dan mempertimbangkan untuk mengharamkan rokok.

Sementara itu, tantangan terbesar bagi dunia saat ini mungkin adalah menemukan kaitan antara merokok dan kerusakan ruhani. Untuk maksud ini mutlak bahwa para ulama dan ilmuwan BUKAN-PEROKOK bertemu secara teratur. Harus dibentuk forum, asosiasi, atau bahkan komisi, yang di era ini bisa dengan mudah mengglobal dengan sarana Internet. Lalu, para perokok yang ‘masih ingin’ punya akal sehat bisa bergabung dalam forum ini untuk digali dan diteliti pengalaman merokok mereka.

Saya, yang lahir dalam keluarga bukan perokok, dan yang hingga usia 37 tahun ini tidak pernah merokok (demi pergaulan sekalipun), merasa status anti-rokok ini biasa saja, tidak istimewa, karena memang beginilah seharusnya hidup. Namun, dalam konteks reformasi ekonomi-politik, sepertinya saya dan para non-perokok lainnya bisa membanggakan ‘keunggulan kompetitif’ ini karena kami bisa berada di garis terdepan dalam perjuangan ini.

Misalnya, seandainya saya Presiden, saya hari ini akan mengumumkan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Antirokok yang mulai berlaku 1 tahun lagi. UU atau PP ini akan mengharamkan industri rokok dan juga impor rokok, sehingga mereka harus tutup. Waktu 1 tahun untuk sosialisasi saya kira cukup agar semua pihak yang terdampak bisa menyiapkan diri. Saya juga akan menyiapkan seluruh aparat pemerintahan agar membantu, mendampingi, dan memfasilitasi semua pihak terdampak yang memerlukan bantuan demi peralihan ekonomi yang mulus (terutama para buruh pabrik rokok). Lalu hukum ini akan ditegakkan.

Seperti anda bisa lihat, karena langkah di atas akan lebih segera memunculkan masalah-masalah baru (yang pastinya negara kehilangan pendapatan triliunan rupiah per tahun, belum lagi masalah ketenagakerjaan akibat PHK masal, dan aset-aset pabrik rokok yang menganggur) ketimbang kita melihat perbaikan-perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat dan dampaknya pada penghematan anggaran keluarga dan masyarakat, ‘akal sehat’ masyarakat (termasuk pemerintah) sangat mungkin akan menolak menempuh jalan ini. Namun, akal sehat yang sejati kadang berarti ‘kegilaan’.

Jika anda perokok, hanya anda yang tahu perokok macam apa anda secara kuantitatif dan kualitatif. Jika anda sepakat dengan hakikat rokok seperti di atas, anda mungkin akan setuju bahwa kita pribadi harus berhenti merokok sebelum kita berusaha mengadakan perubahan-perubahan suci dalam masyarakat. Ibarat dalam pemberantasan korupsi kita tak mungkin membersihkan lantai memakai sapu yang kotor, kita tak mungkin mengubah masyarakat dengan akal dan ruh kita sakit akibat merokok. Lalu di tingkat masyarakat kita perlu mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan tujuan akhir menjadikan rokok ilegal, dan juga mempengaruhi kesadaran masyarakat dengan target akhir membangkrutkan ‘secara baik-baik’ industri rokok nasional.

Rabu, 02 April 2008

Ekonomi-Politik Kerusakan Berbasis-Rokok

Mari kita ingat bahwa, selain ruh yang ditakdirkan untuk hidup kekal, akal adalah satu-satunya pemberian Tuhan kepada manusia yang, bila digunakan pada tempatnya, akan membedakan kita dengan hewan-hewan lain. Akal yang tak pernah atau jarang digunakan, atau akal yang disalahgunakan mengantarkan manusia ke tingkat yang lebih buruk daripada hewan rendah sekalipun. Kebinasaan umat-umat penyembah berhala membuktikan ini. Begitu pun bangsa-bangsa yang durhaka kepada rasul-rasul mereka yang memang diutus untuk membimbing akal.

Berkat para rasul itu, kita tidak menjumpai dalam dunia masa ini suatu peradaban di mana akal tidak atau jarang digunakan. Yang kebanyakan berlaku adalah penyalahgunaan akal (atau, akal sakit). Buktinya adalah dunia masih jauh dari keadaan ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Dunia masih penuh masalah. Kemiskinan, konflik, korupsi dan ekses-ekses pembangunan.

Yang menarik saya di sini bukanlah cara kerja akal sakit dalam menghadapi masalah sosial tertentu, melainkan apa yang menjadikan akal itu sakit pada awalnya dan bagaimana ia menjadi sakit.

Singkat kata, penyebab akal sakit adalah segala yang sakit yang kita masukkan ke dalam diri kita (yang mencakup tubuh jasmani, akal dan ruh). Asupan diri adalah zat (berupa makanan, minuman, dan udara) dan sistem nilai, kepercayaan atau akidah. Manusia secara alami menghajatkan zat hidup dan sistem nilai ini untuk memelihara keberadaannya di Bumi ini. Karena dua hal ini merupakan kebutuhan azasi manusia, Tuhan menyediakannya bagi kita sebelum kita memintanya atau berikhtiar untuk mendapatkannya.

Pertanyaan besar adalah ‘Bagaimana asupan ini menjadi tidak sehat sehingga menyebabkan akal sakit?’ padahal Tuhan menyediakan asupan ini dalam kondisi alami yang baik dan sehat. Jawabnya adalah asupan ini mengalami kerusakan yang menjadikannya tidak baik dan tidak sehat. Kerusakan asupan ini bisa terjadi dalam 2 cara: secara alami, dan oleh campur tangan manusia.

Di sini saya ingin menarik perhatian anda pada suatu asupan buatan-manusia (yang tentu berarti tidak sehat) yang entah bagaimana kini sampai bisa ‘menguasai’ hajat hidup banyak orang. Demikian kuat kuasa asupan semu ini sehingga sangat mewarnai perabadan (yaitu ekonomi-politik) dan budaya dunia. Asupan itu adalah rokok.

Saya berpendapat bahwa selama ekonomi-politik rokok tembakau masih sangat besar dan kuat baik secara nasional maupun global, kita tidak bisa berharap usaha-usaha menegakkan akal sehat dalam banyak aspek lain pembangunan masyarakat akan berarti! Kenapa? Karena saya yakin di dalam kedigdayaan industri rokoklah terletak akar dari akal sakit! Dengan kata lain, di dalam keruntuhan industri rokoklah terletak harapan akan perbaikan ekonomi-politik dan budaya.

Inilah masalahnya: Saya yakin rokok hakikatnya sama saja dengan narkoba, sama-sama merusak peradaban dan kebudayaan. Dalam segi-segi tertentu, ia bahkan jauh lebih berbahaya daripada narkoba. Sejarah mereka pun mungkin berawal pada abad yang sama, yaitu abad ke-18 atau 19. Hanya satu perbedaan BESAR di antara mereka: Rokok masih legal (meskipun di banyak negara telah diregulasi) sementara narkoba telah dijadikan ilegal. Mengapa rokok tidak kunjung di-ilegalkan pemerintah? Di sinilah akal sehat kita seharusnya sangat terusik.

Seorang alim besar abad ke-19 yang diakui sebagai mujadid atau pembaharu dan memiliki hubungan istimewa dengan Tuhan menyatakan begini: ‘Seandainya rokok ada di zaman Rasulullah saw., tentu beliau akan mengharamkannya.’ Ini secara tersirat berarti alim ini mengharamkan rokok.

Saya yakin rokok (dan segala barang lainnya yang manfaatnya sedikit sekali, atau malah tidak ada, dibandingkan keburukannya) tak kunjung dinyatakan ilegal karena persepsi keliru kebanyakan orang tentang rokok. Persepsi itu terbentuk, pertama karena kebanyakan orang tidak merasakan atau melihat dampak kesehatan serius, bahkan fatal, dari merokok bahkan 3 batang sehari dalam jangka waktu relatif singkat di mana mereka bisa melihat akibat fatal konsumsi narkoba dari kondisi awal kesehatan yang sama. Kita jarang mengetahui orang-orang mati dalam 5-10 tahun merokok sebagaimana kita dengar mereka mati dalam 3 tahun ‘menarkoba’. Kedua, kita belum bisa mengaitkan insiden penyakit atau kematian tertentu langsung pada merokok sebagaimana kita bisa pada menarkoba. Rantai sebab-akibat yang lebih panjang ini menjadikan merokok problem yang ‘kurang mendesak’. Persepsi ini ditambah pertimbangan keuntungan ekonomi dari industrialisasi rokok membuat rokok tidak di-ilegalkan.

Tapi, inilah fakta-fakta yang diabaikan kebanyakan orang :

1. Logikanya, segala asupan yang hanya merugikan jasmani, tapi tidak merugikan akal dan ruh, tidak akan diharamkan oleh Tuhan. Jadi, segala asupan yang diharamkan oleh agama berakibat buruk bukan saja pada tubuh, tapi juga pada akal sehat dan ruh. Ini karena dalam pandangan Tuhan, akal dan ruh yang sakit lebih urgen daripada jasmani yang sakit. Dan kematian akal dan ruh memicu murka Tuhan, sedangkan kematian jasmani tidak. Kalaulah hendak digali, tentu akan ditemukan banyak makrifat dan filsafat di balik petunjuk ini.

2. Rokok dihisap oleh kelompok-kelompok masyarakat yang lebih luas daripada narkoba, termasuk oleh kalangan-kalangan yang, dari sudut pandang etika, seharusnya mahrum (luput) dari keterlibatan dalam barang-barang macam ini, seperti kaum ulama, intelektual, dan olahragawan. Di media cetak pernah ada foto menteri pendidikan dari kabinet yang lalu memegang rokok (yang tentu untuk dihisap) dalam suatu acara publik. Gambar yang sama juga ditayangkan di televisi. Juga pernah ada foto seorang kyai tenar mengepulkan asap rokok dalam liputan wawancaranya. Yang terbaru adalah foto-foto seorang bakal calon gubernur Jatim mengisap pipa dan juga menyodorkan api dari pemantik kepada para kyai pesantren dalam acara sowan politiknya.

3. Ekonomi rokok juga mendanai kegiatan-kegiatan olahraga, kompetisi, ajang-ajang keilmuan dsb. yang terang-terang mengandung semangat yang bertolak-belakang dengan hakikat rokok sendiri. Dari sisi sponsor, ini seperti praktik pencucian uang (yang adalah ilegal), sedang di sisi penerima sokongan, ini bisa menandakan keluguan, atau kemunafikan ekonomi, yang tentu tidak disukai Tuhan, dan karena itu tidak banyak berkahnya.

4. Satu ‘kelebihan’ merokok (yang sama sekali bukan sumber kebanggaan) dibandingkan menarkoba adalah, kalau resiko kesehatan dari konsumsi narkoba diderita oleh pemakainya sendiri, merokok bisa merusak kesehatan orang-orang di sekitar si perokok, meskipun mereka tidak merokok. Ini akibat asap rokok (yang mengandung ratusan senyawa berbahaya) terhirup oleh mereka. Bahkan konon, para ‘perokok pasif’ ini lebih menderita daripada si perokok langsungnya. Ini artinya rokok lebih berbahaya daripada narkoba.

Ke-4 poin tadi saya kira memadai untuk membuat pemerintah-pemerintah berpikir lagi dan mempertimbangkan untuk mengharamkan rokok.

Tantangan terbesar bagi dunia saat ini mungkin adalah menemukan kaitan antara merokok dan kerusakan rohani. Untuk maksud ini mutlak bahwa para ulama dan ilmuwan BUKAN-PEROKOK berdiskusi ilmiah secara teratur. Harus dibentuk forum, asosiasi, atau bahkan komisi, yang di era ini bisa dengan mudah mengglobal dengan sarana Internet.

Saya, yang lahir dalam keluarga bukan perokok, dan yang hingga usia 37 tahun ini tidak pernah merokok (demi pergaulan sekalipun), merasa status anti-rokok ini biasa saja, tidak istimewa, karena memang beginilah seharusnya hidup. Namun, dalam konteks ‘gerakan moril’ penegakan akal sehat, sepertinya saya, dan para non-perokok lainnya, bisa membanggakan ‘keunggulan kompetitif’ ini karena kami bisa berada di garis terdepan dalam perjuangan ini.

Jika anda perokok, hanya anda yang tahu perokok macam apa anda secara kuantitatif dan kualitatif. Jika anda sepakat dengan hakikat rokok seperti di atas, anda mungkin akan setuju bahwa kita pribadi harus berhenti merokok sebelum kita berusaha mengadakan perubahan-perubahan suci dalam masyarakat. Ibarat dalam bidang pemberantasan korupsi kita tak mungkin membersihkan lantai memakai sapu yang kotor, kita tak mungkin mengubah masyarakat dengan akal dan ruh kita sakit akibat merokok. Lalu di tingkat masyarakat kita perlu mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan tujuan akhir menjadikan rokok ilegal, dan juga mempengaruhi kesadaran masyarakat dengan target akhir membangkrutkan ‘secara baik-baik’ industri rokok nasional.

Namun, kalau anda tidak setuju, kita tetap bisa bekerja bersama, dan waktulah yang akan menentukan.