Selama kebanyakan sejarah manusia—jutaan tahun yang Zorg dan kaumnya mengembarai bumi dalam kawanan-kawanan pemburu dan pengumpul—praktis mustahil bagi satu individu untuk mengukuhkan kendali atas individu lain. Jika jantan dominan dari suatu kawanan menjadi terlalu brutal, yang lain-lain pergi dan mengikuti kelompok lain. Para pemimpin bisa menggunakan besar dan kekuatan mereka untuk mengintimidasi para pengikut, tapi kekuatan fisik semata tak pernah merupakan sarana dominasi yang amat memuaskan. Lagipula, sangat sedikit yang perlu dikontrol. Kecuali lebih banyak makanan dan lebih banyak seks, apa yang bisa dikehendaki Zorg?
Jika dia berusaha merebut kapak-kapak batu atau kendi para kawannya, dia akan segera kecapekan membawanya pada perjalanan-perjalanan berburu hariannya. Jika dia berusaha membuat orang-orang lain bekerja baginya, mereka akan segera hilang di balik cakrawala, meninggalkan Zorg mengurus dirinya sendiri. Jadi selama rentang terpanjang evolusi manusia, eksploitasi atas kaum pria (dan kaum perempuan) oleh kaum pria bukanlah suatu gagasan yang menguntungkan. Itu mungkin terjadi sangat sering atas dasar kesempatan, tapi itu mustahil dikukuhkan dalam segala bentuk yang lestari.
Situasi itu berubah dramatis ketika bertani menjadi bentuk utama penghidupan (nafkah) dalam sekitar limabelas ribu tahun terakhir. Pertama-tama, bertani menambatkan orang-orang ke wilayah atau tempat tertentu. Kalau para pemburu selalu bisa berpindah, jauh lebih sulit bagi para petani untuk berpindah. Mereka punya terlalu banyak energi psikis ditanamkan dalam ladang-ladang mereka, dan lahan bagus mana pun di daerah terdekat mungkin sudah didiami oleh orang lain.
Kedua, pertanian—berbeda dari berburu dan mengumpulkan—menghasilkan suatu surplus yang bisa disimpan. Ini berarti bahwa lewat ketrampilan atau kemujuran sebagian orang mengumpulkan lebih banyak makanan daripada orang-orang lain. Di titik itu, pewarisan kekayaan menjadi mungkin, dan dalam kondisi-kondisi yang tepat itu bisa menyebabkan perbedaan-perbedaan kasta atau kelas yang permanen.
Ketiga, bertani mensyaratkan pengetahuan yang relatif terkhusus dan pemilikan tanah dan peralatan. Sebagian individu mau tak mau mampu memperoleh tanah yang lebih produktif atau membuat peralatan yang lebih baik, dan karena mereka menghasilkan lebih banyak makanan, mereka menghimpun kekayaan. Menggabungkan tiga kondisi ini, lahannya siap untuk eksploitasi terlembagakan permanen.
Selebihnya adalah sejarah. Mereka yang kebetulan kaya, atau yang memiliki alat-alat produksi—yaitu tanah, peralatan, hewan beban—mampu mempekerjakan orang-orang lain yang tak punya sarana menghasilkan nafkah bagi diri mereka. Secara umum, yang kaya punya sedikit kegelisahan tentang menggunakan energi psikis orang miskin demi manfaat mereka sendiri. Lagipula, kekayaan saat itu seperti suatu virus budaya baru yang terhadapnya umat manusia belum mengembangkan antibodi—penangkal itu akan datang kelak, dengan pengembangan hukum-hukum, batasan-batasan agamis, pengorganisasian serikat-serikat buruh, dsb.
Sementara itu, sebentar setelah revolusi pertanian, atau sampai kira-kira 8 ribu tahun lalu, di seluruh dunia bentuk-bentuk sosial baru bangkit, didasarkan pada para penguasa sewenang-wenang yang telah menumpuk cukup surplus untuk mempekerjakan angkatan-angkatan perang besar, membangun kota-kota menakjubkan, dan mendirikan kuburan-kuburan besar untuk menurunkan kenangan tentang keberadaan unik mereka sendiri ke banyak generasi.
Demikianlah berakhir persamaan. Sesegera konsep-konsep budaya mulai memainkan peran lebih besar dalam urusan-urusan manusia, menjadi mungkin bagi sebagian orang untuk mengeksploitasi orang-orang lain. Marx tidaklah melenceng saat dia menulis bahwa sejarah manusia adalah sejarah konflik golongan. Begitu kelompok-kelompok tertentu menjadi mapan atau mengakar dalam kemampuan mereka untuk mengontrol kelompok-kelompok lain, bibit-bibit konflik ditaburkan.
Di mana Max salah adalah dalam penyederhanaan berlebihan atau ekstrim atas konflik ini. Pemikirannya adalah bahwa sejarah mengikuti suatu kemajuan linier lambat dari masyarakat-masyarakat suku, di mana semua manusia adalah sederajat, ke perbudakan, lalu ke sistem-sistem feodal, ke merkantilisme, dan ke kapitalisme tak terkendali, yang ditakdirkan untuk merusak-diri, sehingga menyiapkan lahan bagi suatu masyarakat tanpa-golongan baru yang akan menghapuskan eksploitasi—kediktatoran golongan pekerja. Tetapi perbedaan-perbedaan dalam kekuasaan tidak semudah dihapus seperti Marx telah secara lugu percaya. Selama 70 tahun di mana “kediktatoran golongan pekerja” menguasai Uni Soviet, sekelompok berkuasa politisi dan birokrat bengis menjadi lebih bersifat beban di punggung warganegara daripada keluarga Tsar lama.
Juga, para pengekploitir berganti jauh lebih pesat daripada yang Marx akan telah kira mungkin. Misalnya, dalam abad ke-20 kontrol terhadap sumberdaya di Eropa Tengah telah berganti-ganti tangan setidaknya 3 kali. Pada 1945, dengan bantuan tentara Soviet, kaum proletar (buruh) merampas harta dan kekuasaan dari golongan-golongan berharta yang saat itu berkuasa. Di negara-negara seperti Polandia, Rumania, Czekoslovakia, Hungaria, Yugoslavia, dan Bulgaria, jika orangtua atau bahkan kakek-nenek anda dulu adalah anggota golongan menengah, anda kini dianggap seorang “musuh golongan.” Anda akan telah di-blacklist dari kebanyakan pekerjaan, dan mungkin tidak telah diterima ke sebuah universitas. Tetapi sejak 1990, kepemilikan dan kekuasaan kembali terdistribusi ulang.
Penindasan adalah suatu kondisi di mana energi psikis dari satu orang dikendalikan oleh orang lain melawan kehendaknya. Sampai derajat tertentu, kita semua harus melakukan hal-hal yang tidak kita sukai karena seorang yang lebih kuasa menginginkan kita melakukannya. Para remaja Amerika menghabiskan bagian terbesar hari di sekolah, dan 70% waktu mereka berharap mereka tidak hadir (sisanya 30% waktu mereka tidak berada dalam ruang kelas tapi di aula, kafetaria, atau pusat siswa, dan pada waktu-waktu itu mereka tidak merasa terkekang sama kuat). Pola yang sama berlaku bagi banyak orang dewasa Amerika berkenaan dengan pekerjaan mereka. Tapi ini bukan sebenarnya contoh penindasan, karena para siswa dan pekerja berharap untuk memperoleh suatu faedah mendatang dari mengasingkan energi psikis mereka pada saat ini.
Contoh paling murni dari eksploitasi penindas adalah perbudakan. Yang membuatnya tak dapat ditoleransi bukanlah karena para budak harus bekerja keras—para eksekutif modern mungkin bekerja lebih keras lagi—tetapi karena mereka tidak bisa mengendalikan perhatian mereka dengan bebas. Mereka tak bisa memilih ingin berada di mana, ingin melakukan apa, ingin mengawini siapa. Dus mereka tercabut dari kondisi dasar kemanusiaan—kontrol atas energi psikis. Tak mengherankan, para filsuf Yunani menyimpulkan bahwa para budak bukan benar-benar manusia karena mereka tak punya kebebasan memilih.
Tetapi ada banyak cara lain untuk mengeksploitasi energi psikis semacam perbudakan. Setiap orang lebih suka memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasratnya tanpa harus bekerja meraihnya. Kapan saja kita bisa terbebas dari melakukannya, kita akan mengambil peluang itu. Remaja yang meminta orangtuanya membelikannya mobil baru dengan alasan paling remeh, suami yang membiarkan istri pekerjanya mengerjakan semua tugas rumah, direktur utama yang memakai uang perusahaan untuk menggaji dan memberi bonus mewah dirinya semua adalah usaha terkenal untuk membuat orang-orang lain menghabiskan hidup mereka membuat hidup kita lebih nyaman.
Para penindas sering mengawali karir mereka sebagai pelindung, dan baru kemudianlah berubah jadi pengeksploitir. Satu contoh menarik adalah laporan sejarawan Leslie White tentang bagaimana sistem feodal berkembang di Eropa. Menurut White, setelah Kekaisaran Roma yang digdaya tumbang, kebanyakan tanahnya kembali ke para petani semi-otonom yang hidup di desa-desa terpencil.
Para petani ini umumnya bisa membela kemerdekaan mereka melawan para musuh potensial, yang tidak jauh lebih tepersenjatai atau terlatih daripada mereka. Tapi kemudian, antara abad ke-6 dan ke-8, suatu inovasi teknologi mengubah neraca kekuasaan, dan karena itu politik dan gaya hidup dari seluruh benua. Inovasi itu adalah stirrup (yaitu sepotong logam berbentuk-D untuk dimasuki kaki penunggang, yang tergantung dari sisi pelana kuda), yang diadopsi dari kaum nomad dari stepa-stepa Asia.
Sebelum stirrup digunakan, mudah bagi para prajurit berkuda untuk jatuh dari punggung kuda mereka secara kebetulan. Karena itu, mereka tak bisa dipersenjatai berat, atau sedikit kehilangan keseimbangan akan mengakibatkan jatuh. Tapi dengan stirrup, seorang penunggang kuda bisa mengenakan perisai yang makin berat dan tetap mempertahankan duduknya.
Segera para ksatria berperisai mulai mengembarai daratan, dan mereka nyaris tak terhancurkan. Para petani sadar bahwa kalau mereka ingin menjaga hasil bumi mereka aman, pertahanan mereka satu-satunya adalah memiliki para ksatria sendiri. Di banyak desa para petani itu sendiri urun biaya untuk membeli perlengkapan mahalnya—tombak, pedang, perisai tubuh, helem, sarung tangan, dsb.—sehingga mereka bisa memperlengkapi seorang pemuda lokal yang kuat dan menjadikannya pelindung mereka.
Skema ini manjur sementara, tapi segera ksatria yang baru dicetak itu menyadari bahwa jika dia ingin mengeksploitasi para bekas penyokongnya tidak ada yang bisa dilakukan para petani itu. Setelah beberapa generasi para ksatria dan keturunan mereka berkembang menjadi suatu kasta terpisah, dengan ketrampilan terkhusus, ideologi, dan gaya hidup mereka sendiri, hidup berkecukupan dari kerja banting tulang dari mereka yang telah mula-mula menciptakan mereka.
Penindasan sering dimungkinkan oleh suatu kemajuan teknologi baru—kadang sedramatis masuknya pertanian, kadang senampaknya remeh seperti stirrup. Kapan pun suatu meme atau konsep budaya baru memungkinkan sebagian orang untuk mengungguli orang-orang lain, eksploitasi pasti mengikuti. Untuk menjaga kendali atas energi psikis kita sendiri, menjadi esensial bahwa kita memahami cara kekuasaan sedang digunakan. Kita tak bisa bebas kecuali kita belajar untuk melindungi diri dari ambisi-ambisi orang-orang lain, dan kecuali kita menahan diri dari mengeksploitasi orang-orang lain.
Minggu, 20 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar