Selain ruh yang ditakdirkan untuk hidup kekal, akal adalah satu-satunya pemberian Tuhan kepada manusia yang, bila digunakan pada tempatnya, akan membedakan kita dengan hewan-hewan lain. Akal yang tak pernah atau jarang digunakan, atau akal yang disalahgunakan mengantarkan manusia ke tingkat yang lebih buruk daripada hewan rendah sekalipun. Kebinasaan umat-umat penyembah berhala membuktikan ini. Begitu pun bangsa-bangsa yang durhaka kepada rasul-rasul mereka yang memang diutus untuk membimbing akal.
Meski peradaban dunia kini sudah sangat maju, sedemikian rupa sehingga akan sangat mencengangkan bangsa-bangsa zaman para nabi seandainya mereka hidup kembali, tidak demikian halnya dengan kebudayaan dunia. Tidak digunakannya akal dan juga penyalahgunaan akal pada masa ini sama parahnya dengan, bahkan mungkin lebih parah daripada, yang berlaku belasan abad lalu. Buktinya adalah, dunia masih jauh dari keadaan ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Dunia masih penuh masalah kemanusiaan. Kemiskinan dan akibat-akibatnya… konflik dan akibat-akibatnya… ekses-ekses pembangunan dll.
Yang menarik perhatian saya di sini bukanlah cara kerja akal kita yang sakit dalam menghadapi masalah sosial tertentu, yang menyebabkan masalah itu tidak kunjung selesai, melainkan apa yang menjadikan akal itu sakit pada awalnya dan bagaimana ia menjadi sakit.
Singkat kata, penyebab akal sakit adalah segala yang sakit yang kita masukkan ke dalam diri kita (yang mencakup tubuh jasmani, akal dan ruh). Asupan diri berupa zat (sebagai makanan, minuman, dan udara) dan sistem nilai, kepercayaan atau akidah. Manusia secara alami menghajatkan zat hidup dan sistem nilai ini untuk memelihara keberadaannya di Bumi ini dan sukses menjalani evolusi. Karena dua hal ini merupakan kebutuhan azasi manusia, Tuhan menyediakannya bagi kita sebelum kita memintanya atau berikhtiar untuk mendapatkannya (dalam arti menciptakannya).
Pertanyaan besar adalah ‘Bagaimana asupan ini menjadi tidak sehat sehingga menyebabkan akal sakit?’ padahal Tuhan menyediakan asupan ini dalam kondisi alami yang baik dan sehat. Jawabnya adalah asupan ini mengalami kerusakan yang menjadikannya tidak baik dan tidak sehat. Kerusakan asupan ini bisa terjadi dalam 2 cara: secara alami, dan oleh campur tangan manusia.
Di sini saya ingin menarik perhatian anda pada suatu asupan buatan-manusia (yang tentu berarti tidak sehat, bahkan merusak) yang entah bagaimana kini sampai bisa ‘menguasai’ hajat hidup banyak orang. Demikian kuat kuasa asupan semu ini sehingga sangat mewarnai perabadan (yaitu ekonomi-politik) dan budaya dunia. Asupan itu adalah rokok.
Untuk menilai besar dari masalah rokok ini, pertama kita mungkin bisa melihat nilai ekonominya di tingkat nasional. Saya belum punya data tentang omzet nasional rokok per tahun, tetapi kemungkinan besar puluhan triliun rupiah. (Omzet narkoba saja, yang jelas-jelas sudah dijadikan musuh bangsa dan negara, Rp 30 triliun per tahun; rokok, yang masih legal, logisnya beromzet lebih besar.) Dengan omzet sebesar itu, negara meraup triliunan rupiah dalam cukai dan pajak hanya dari satu komoditi ini.
Ekonomi rokok juga menyerap jutaan tenaga kerja dalam bidang pasokan, produksi, dan distribusi. Bahkan, karena industri rokok di Indonesia begitu padat-karya, kota-kota tempat pabrik rokok besar berdiri seperti Kediri dan Kudus menjadi ‘kota rokok’, kota di mana ekonomi-politik dan budaya rokok mendominasi.
Saya berpendapat bahwa selama ekonomi-politik rokok tembakau masih sangat besar dan kuat baik secara nasional maupun global, kita tidak bisa berharap usaha-usaha reformasi dalam banyak aspek pembangunan masyarakat akan berarti! Kenapa? Karena saya yakin di dalam kedigdayaan industri rokoklah terletak salah satu akar dari akal sakit! Dengan kata lain, di dalam keruntuhan industri rokoklah terletak harapan akan perbaikan ekonomi-politik dan budaya.
Inilah masalahnya: Saya yakin rokok hakikatnya sama saja dengan narkoba, sama-sama merusak peradaban dan kebudayaan. Dalam segi-segi tertentu, ia bahkan jauh lebih berbahaya daripada narkoba. Sejarah mereka pun mungkin berawal pada abad yang sama, yaitu abad ke-18 atau 19. Hanya satu perbedaan BESAR di antara mereka: Rokok masih legal (meskipun di banyak negara telah diregulasi) sementara narkoba telah dijadikan ilegal. Mengapa rokok tidak kunjung di-ilegalkan pemerintah? Di sinilah akal sehat kita seharusnya sangat terusik.
Seorang alim besar abad ke-19 yang diakui sebagai mujadid atau pembaharu dan memiliki hubungan istimewa dengan Tuhan menyatakan begini: ‘Seandainya rokok ada di zaman Rasulullah saw., tentu beliau akan mengharamkannya.’ Ini secara tersirat berarti alim ini mengharamkan rokok.
Saya yakin rokok (dan segala barang lainnya yang manfaatnya sedikit sekali, atau malah tidak ada, dibandingkan keburukannya) tak kunjung dinyatakan ilegal karena persepsi keliru kebanyakan orang tentang rokok. Persepsi itu terbentuk, pertama karena kebanyakan orang tidak merasakan atau melihat dampak kesehatan serius, bahkan fatal, dari merokok bahkan 3 batang sehari dalam jangka waktu relatif singkat di mana mereka bisa melihat akibat fatal konsumsi narkoba dari kondisi awal kesehatan yang sama. Kita jarang mengetahui orang-orang mati dalam 5-10 tahun merokok sebanyak kita dengar mereka mati dalam 5 tahun ‘menarkoba’. Kenyataan ini mungkin disebabkan narkoba bekerja di tingkat sistem saraf (yang relatif lebih telak dampaknya) sementara rokok lebih banyak berdampak pada organ atau jaringan.
Mertua saya, yang meninggal pada 4 April 2008 pada usia 74 tahun, sejak November 2007 menderita radang paru kronis. Kondisi yang tak lagi bisa diperbarui. Sangat susah untuk bersuara dan bernafas. Tentu ini tidak diakibatkan dari merokok sebulan atau bahkan setahun yang lalu. Karena beliau perokok ‘kawakan’, ini pasti akibat kumulatif selama puluhan tahun. Dan insiden penyakit inilah yang akhirnya bisa menghentikannya dari merokok. Meski tidak ada kata terlambat untuk berbuat baik, kesadaran ‘paksaan’ macam ini sangat kecil nilainya secara sosial.
Kedua, kita belum bisa mengaitkan insiden penyakit atau kematian tertentu langsung pada merokok sebagaimana kita bisa pada menarkoba (terutama dalam kasus overdosis). Rantai sebab-akibat yang lebih panjang ini menjadikan merokok problem yang ‘kurang mendesak’. Persepsi ini ditambah pertimbangan keuntungan ekonomi dari industrialisasi rokok membuat rokok tidak di-ilegalkan.
Tapi, inilah kondisi-kondisi yang diabaikan masyarakat :
1. Logikanya, segala asupan yang hanya merugikan jasmani, tapi tidak merugikan akal dan ruh, tidak akan diharamkan oleh Tuhan. Jadi, segala asupan yang diharamkan oleh agama pasti berakibat buruk bukan saja pada tubuh, tapi juga pada akal sehat dan, lebih-lebih ruh. Ini karena dalam pandangan Tuhan, akal dan ruh yang sakit lebih urgen daripada jasmani yang sakit. Dan kematian akal dan ruh memicu murka Tuhan, sedangkan kematian jasmani tidak. Kalau anda mati karena ditabrak sopir bus yang mabuk, misalnya, Tuhan tidak akan murka pada anda menyangkut sebab kematian ini. Tapi, jika anda mati karena meminum racun serangga karena depresi atau stres berat (yang menandakan kehampaan ruhani anda), kemurkaan Tuhan menanti anda di alam baka juga di akhirat. Kalaulah hendak digali, tentu akan banyak makrifat dan filsafat di balik petunjuk ini.
2. Kalaupun agama tidak perlu dibawa-bawa dalam soal ini, akal sehat dan nurani bersih akan menolak ‘kebenaran’ merokok. Betapa tidak, kita sengaja mengeluarkan uang untuk memasukkan ratusan racun ke dalam diri kita! Anak-anak saja tidak ada yang sengaja melakukan ini. Ini adalah kebodohan paripurna!
3. Masyarakat (termasuk pemerintah) tidak sampai melihat dampak-dampak buruk yang halus dari merokok terhadap kesejahteraan lebih luas dari bangsa dan negara. Padahal dampak-dampak buruk ini bisa puluhan kali lipat nilainya ketimbang dampak-dampak ‘baik’ dari segi ekonomi. Ibaratnya, kita mencari air setetes untuk kelak kehilangan air segelas!
4. Rokok dihisap oleh kelompok-kelompok masyarakat yang lebih luas daripada narkoba, termasuk oleh kalangan-kalangan yang, dari sudut pandang etika, seharusnya mahrum (luput) dari keterlibatannya, seperti kaum ulama, intelektual, dan olahragawan. Di media cetak pernah ada foto menteri pendidikan dari kabinet yang lalu memegang rokok (yang tentu untuk dihisap) dalam suatu acara publik. Gambar yang sama juga ditayangkan di televisi. Juga pernah ada foto seorang kyai tenar mengepulkan asap rokok dalam liputan wawancaranya. Yang terbaru adalah foto-foto seorang bakal calon gubernur Jatim mengisap pipa dan juga menyodorkan api dari pemantik kepada para kyai pesantren dalam acara sowan politiknya.
5. Ekonomi rokok juga mendanai kegiatan-kegiatan olahraga, kompetisi, ajang-ajang keilmuan dsb. yang mengandung semangat yang bertolak-belakang dengan hakikat rokok sendiri. Dari sisi sponsor, ini seperti pencucian uang (yang adalah ilegal), sedang di sisi penerima sokongan, ini bisa menandakan keluguan, atau kemunafikan ekonomi, yang tentu tidak disukai Tuhan, dan karena itu sedikit berkahnya.
6. Satu ‘kelebihan’ merokok (yang sama sekali bukan sumber kebanggaan) dibandingkan menarkoba adalah, kalau resiko kesehatan dari konsumsi narkoba diderita oleh pemakainya sendiri, merokok bisa merusak kesehatan orang-orang di sekitar si perokok, meskipun mereka tidak merokok. Ini akibat asap rokok (yang mengandung ratusan senyawa berbahaya) terhirup oleh mereka. Bahkan konon, para ‘perokok pasif’ ini lebih menderita daripada si perokok langsungnya. Ini artinya rokok lebih berbahaya daripada narkoba.
Ke-6 poin tadi saya kira cukup untuk membuat pemerintah pusat berpikir lagi dan mempertimbangkan untuk mengharamkan rokok.
Sementara itu, tantangan terbesar bagi dunia saat ini mungkin adalah menemukan kaitan antara merokok dan kerusakan ruhani. Untuk maksud ini mutlak bahwa para ulama dan ilmuwan BUKAN-PEROKOK bertemu secara teratur. Harus dibentuk forum, asosiasi, atau bahkan komisi, yang di era ini bisa dengan mudah mengglobal dengan sarana Internet. Lalu, para perokok yang ‘masih ingin’ punya akal sehat bisa bergabung dalam forum ini untuk digali dan diteliti pengalaman merokok mereka.
Saya, yang lahir dalam keluarga bukan perokok, dan yang hingga usia 37 tahun ini tidak pernah merokok (demi pergaulan sekalipun), merasa status anti-rokok ini biasa saja, tidak istimewa, karena memang beginilah seharusnya hidup. Namun, dalam konteks reformasi ekonomi-politik, sepertinya saya dan para non-perokok lainnya bisa membanggakan ‘keunggulan kompetitif’ ini karena kami bisa berada di garis terdepan dalam perjuangan ini.
Misalnya, seandainya saya Presiden, saya hari ini akan mengumumkan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Antirokok yang mulai berlaku 1 tahun lagi. UU atau PP ini akan mengharamkan industri rokok dan juga impor rokok, sehingga mereka harus tutup. Waktu 1 tahun untuk sosialisasi saya kira cukup agar semua pihak yang terdampak bisa menyiapkan diri. Saya juga akan menyiapkan seluruh aparat pemerintahan agar membantu, mendampingi, dan memfasilitasi semua pihak terdampak yang memerlukan bantuan demi peralihan ekonomi yang mulus (terutama para buruh pabrik rokok). Lalu hukum ini akan ditegakkan.
Seperti anda bisa lihat, karena langkah di atas akan lebih segera memunculkan masalah-masalah baru (yang pastinya negara kehilangan pendapatan triliunan rupiah per tahun, belum lagi masalah ketenagakerjaan akibat PHK masal, dan aset-aset pabrik rokok yang menganggur) ketimbang kita melihat perbaikan-perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat dan dampaknya pada penghematan anggaran keluarga dan masyarakat, ‘akal sehat’ masyarakat (termasuk pemerintah) sangat mungkin akan menolak menempuh jalan ini. Namun, akal sehat yang sejati kadang berarti ‘kegilaan’.
Jika anda perokok, hanya anda yang tahu perokok macam apa anda secara kuantitatif dan kualitatif. Jika anda sepakat dengan hakikat rokok seperti di atas, anda mungkin akan setuju bahwa kita pribadi harus berhenti merokok sebelum kita berusaha mengadakan perubahan-perubahan suci dalam masyarakat. Ibarat dalam pemberantasan korupsi kita tak mungkin membersihkan lantai memakai sapu yang kotor, kita tak mungkin mengubah masyarakat dengan akal dan ruh kita sakit akibat merokok. Lalu di tingkat masyarakat kita perlu mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan tujuan akhir menjadikan rokok ilegal, dan juga mempengaruhi kesadaran masyarakat dengan target akhir membangkrutkan ‘secara baik-baik’ industri rokok nasional.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar