Rabu, 02 April 2008

Ekonomi-Politik Kerusakan Berbasis-Rokok

Mari kita ingat bahwa, selain ruh yang ditakdirkan untuk hidup kekal, akal adalah satu-satunya pemberian Tuhan kepada manusia yang, bila digunakan pada tempatnya, akan membedakan kita dengan hewan-hewan lain. Akal yang tak pernah atau jarang digunakan, atau akal yang disalahgunakan mengantarkan manusia ke tingkat yang lebih buruk daripada hewan rendah sekalipun. Kebinasaan umat-umat penyembah berhala membuktikan ini. Begitu pun bangsa-bangsa yang durhaka kepada rasul-rasul mereka yang memang diutus untuk membimbing akal.

Berkat para rasul itu, kita tidak menjumpai dalam dunia masa ini suatu peradaban di mana akal tidak atau jarang digunakan. Yang kebanyakan berlaku adalah penyalahgunaan akal (atau, akal sakit). Buktinya adalah dunia masih jauh dari keadaan ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Dunia masih penuh masalah. Kemiskinan, konflik, korupsi dan ekses-ekses pembangunan.

Yang menarik saya di sini bukanlah cara kerja akal sakit dalam menghadapi masalah sosial tertentu, melainkan apa yang menjadikan akal itu sakit pada awalnya dan bagaimana ia menjadi sakit.

Singkat kata, penyebab akal sakit adalah segala yang sakit yang kita masukkan ke dalam diri kita (yang mencakup tubuh jasmani, akal dan ruh). Asupan diri adalah zat (berupa makanan, minuman, dan udara) dan sistem nilai, kepercayaan atau akidah. Manusia secara alami menghajatkan zat hidup dan sistem nilai ini untuk memelihara keberadaannya di Bumi ini. Karena dua hal ini merupakan kebutuhan azasi manusia, Tuhan menyediakannya bagi kita sebelum kita memintanya atau berikhtiar untuk mendapatkannya.

Pertanyaan besar adalah ‘Bagaimana asupan ini menjadi tidak sehat sehingga menyebabkan akal sakit?’ padahal Tuhan menyediakan asupan ini dalam kondisi alami yang baik dan sehat. Jawabnya adalah asupan ini mengalami kerusakan yang menjadikannya tidak baik dan tidak sehat. Kerusakan asupan ini bisa terjadi dalam 2 cara: secara alami, dan oleh campur tangan manusia.

Di sini saya ingin menarik perhatian anda pada suatu asupan buatan-manusia (yang tentu berarti tidak sehat) yang entah bagaimana kini sampai bisa ‘menguasai’ hajat hidup banyak orang. Demikian kuat kuasa asupan semu ini sehingga sangat mewarnai perabadan (yaitu ekonomi-politik) dan budaya dunia. Asupan itu adalah rokok.

Saya berpendapat bahwa selama ekonomi-politik rokok tembakau masih sangat besar dan kuat baik secara nasional maupun global, kita tidak bisa berharap usaha-usaha menegakkan akal sehat dalam banyak aspek lain pembangunan masyarakat akan berarti! Kenapa? Karena saya yakin di dalam kedigdayaan industri rokoklah terletak akar dari akal sakit! Dengan kata lain, di dalam keruntuhan industri rokoklah terletak harapan akan perbaikan ekonomi-politik dan budaya.

Inilah masalahnya: Saya yakin rokok hakikatnya sama saja dengan narkoba, sama-sama merusak peradaban dan kebudayaan. Dalam segi-segi tertentu, ia bahkan jauh lebih berbahaya daripada narkoba. Sejarah mereka pun mungkin berawal pada abad yang sama, yaitu abad ke-18 atau 19. Hanya satu perbedaan BESAR di antara mereka: Rokok masih legal (meskipun di banyak negara telah diregulasi) sementara narkoba telah dijadikan ilegal. Mengapa rokok tidak kunjung di-ilegalkan pemerintah? Di sinilah akal sehat kita seharusnya sangat terusik.

Seorang alim besar abad ke-19 yang diakui sebagai mujadid atau pembaharu dan memiliki hubungan istimewa dengan Tuhan menyatakan begini: ‘Seandainya rokok ada di zaman Rasulullah saw., tentu beliau akan mengharamkannya.’ Ini secara tersirat berarti alim ini mengharamkan rokok.

Saya yakin rokok (dan segala barang lainnya yang manfaatnya sedikit sekali, atau malah tidak ada, dibandingkan keburukannya) tak kunjung dinyatakan ilegal karena persepsi keliru kebanyakan orang tentang rokok. Persepsi itu terbentuk, pertama karena kebanyakan orang tidak merasakan atau melihat dampak kesehatan serius, bahkan fatal, dari merokok bahkan 3 batang sehari dalam jangka waktu relatif singkat di mana mereka bisa melihat akibat fatal konsumsi narkoba dari kondisi awal kesehatan yang sama. Kita jarang mengetahui orang-orang mati dalam 5-10 tahun merokok sebagaimana kita dengar mereka mati dalam 3 tahun ‘menarkoba’. Kedua, kita belum bisa mengaitkan insiden penyakit atau kematian tertentu langsung pada merokok sebagaimana kita bisa pada menarkoba. Rantai sebab-akibat yang lebih panjang ini menjadikan merokok problem yang ‘kurang mendesak’. Persepsi ini ditambah pertimbangan keuntungan ekonomi dari industrialisasi rokok membuat rokok tidak di-ilegalkan.

Tapi, inilah fakta-fakta yang diabaikan kebanyakan orang :

1. Logikanya, segala asupan yang hanya merugikan jasmani, tapi tidak merugikan akal dan ruh, tidak akan diharamkan oleh Tuhan. Jadi, segala asupan yang diharamkan oleh agama berakibat buruk bukan saja pada tubuh, tapi juga pada akal sehat dan ruh. Ini karena dalam pandangan Tuhan, akal dan ruh yang sakit lebih urgen daripada jasmani yang sakit. Dan kematian akal dan ruh memicu murka Tuhan, sedangkan kematian jasmani tidak. Kalaulah hendak digali, tentu akan ditemukan banyak makrifat dan filsafat di balik petunjuk ini.

2. Rokok dihisap oleh kelompok-kelompok masyarakat yang lebih luas daripada narkoba, termasuk oleh kalangan-kalangan yang, dari sudut pandang etika, seharusnya mahrum (luput) dari keterlibatan dalam barang-barang macam ini, seperti kaum ulama, intelektual, dan olahragawan. Di media cetak pernah ada foto menteri pendidikan dari kabinet yang lalu memegang rokok (yang tentu untuk dihisap) dalam suatu acara publik. Gambar yang sama juga ditayangkan di televisi. Juga pernah ada foto seorang kyai tenar mengepulkan asap rokok dalam liputan wawancaranya. Yang terbaru adalah foto-foto seorang bakal calon gubernur Jatim mengisap pipa dan juga menyodorkan api dari pemantik kepada para kyai pesantren dalam acara sowan politiknya.

3. Ekonomi rokok juga mendanai kegiatan-kegiatan olahraga, kompetisi, ajang-ajang keilmuan dsb. yang terang-terang mengandung semangat yang bertolak-belakang dengan hakikat rokok sendiri. Dari sisi sponsor, ini seperti praktik pencucian uang (yang adalah ilegal), sedang di sisi penerima sokongan, ini bisa menandakan keluguan, atau kemunafikan ekonomi, yang tentu tidak disukai Tuhan, dan karena itu tidak banyak berkahnya.

4. Satu ‘kelebihan’ merokok (yang sama sekali bukan sumber kebanggaan) dibandingkan menarkoba adalah, kalau resiko kesehatan dari konsumsi narkoba diderita oleh pemakainya sendiri, merokok bisa merusak kesehatan orang-orang di sekitar si perokok, meskipun mereka tidak merokok. Ini akibat asap rokok (yang mengandung ratusan senyawa berbahaya) terhirup oleh mereka. Bahkan konon, para ‘perokok pasif’ ini lebih menderita daripada si perokok langsungnya. Ini artinya rokok lebih berbahaya daripada narkoba.

Ke-4 poin tadi saya kira memadai untuk membuat pemerintah-pemerintah berpikir lagi dan mempertimbangkan untuk mengharamkan rokok.

Tantangan terbesar bagi dunia saat ini mungkin adalah menemukan kaitan antara merokok dan kerusakan rohani. Untuk maksud ini mutlak bahwa para ulama dan ilmuwan BUKAN-PEROKOK berdiskusi ilmiah secara teratur. Harus dibentuk forum, asosiasi, atau bahkan komisi, yang di era ini bisa dengan mudah mengglobal dengan sarana Internet.

Saya, yang lahir dalam keluarga bukan perokok, dan yang hingga usia 37 tahun ini tidak pernah merokok (demi pergaulan sekalipun), merasa status anti-rokok ini biasa saja, tidak istimewa, karena memang beginilah seharusnya hidup. Namun, dalam konteks ‘gerakan moril’ penegakan akal sehat, sepertinya saya, dan para non-perokok lainnya, bisa membanggakan ‘keunggulan kompetitif’ ini karena kami bisa berada di garis terdepan dalam perjuangan ini.

Jika anda perokok, hanya anda yang tahu perokok macam apa anda secara kuantitatif dan kualitatif. Jika anda sepakat dengan hakikat rokok seperti di atas, anda mungkin akan setuju bahwa kita pribadi harus berhenti merokok sebelum kita berusaha mengadakan perubahan-perubahan suci dalam masyarakat. Ibarat dalam bidang pemberantasan korupsi kita tak mungkin membersihkan lantai memakai sapu yang kotor, kita tak mungkin mengubah masyarakat dengan akal dan ruh kita sakit akibat merokok. Lalu di tingkat masyarakat kita perlu mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan tujuan akhir menjadikan rokok ilegal, dan juga mempengaruhi kesadaran masyarakat dengan target akhir membangkrutkan ‘secara baik-baik’ industri rokok nasional.

Namun, kalau anda tidak setuju, kita tetap bisa bekerja bersama, dan waktulah yang akan menentukan.

1 komentar:

"Dalam Genggaman Tuhan" mengatakan...

Betul pa Hendy, jangan terlalu banyak merokok, toh tidak merokok juga hidup, sehat lagi!!!

salam
http://smartbrigt.net/
http://bisamarketing.blogspot.com