Harmoni Semesta (HS) adalah nama untuk suatu paradigma bagi Sains Baru.
Paradigma adalah suatu kerangka konseptual sederhana yang di seputar itu suatu sistem kompleks pemikiran atau perilaku bisa ditata. Paradigma adalah scaffolding (penyangga) bagi gagasan-gagasan. Karena naluriah, dikenal secara universal, dan mudah dimengerti, paradigma memberikan suatu titik acuan sentral bagi masyarakat untuk menilai diri.
Sains Baru adalah perkembangan dari Sains Modern. Sains Modern dibangun di atas paradigma Newton. Paradigma Newton memiliki 3 pilar utama: reduksionisme (yaitu paham yang melihat segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian; pemahaman terhadap setiap bagian akan memberikan gambaran lengkap tentang sesuatu), determinisme (paham bahwa semesta bekerja menurut hukum sebab-akibat yang pasti); obyektivisme (paham bahwa kebenaran bersifat obyektif, tidak bergantung pada pengamat dan cara mengamati).
Ketiga pilar itulah yang menopang bangun kosmologi Newton untuk menggantikan paradigma Aristoteles-Ptolemus yang berbau mistik dan teologi Kristiani yang tidak memiliki dasar filsafat. Kosmologi Newton memandang semesta tidak lebih dari suatu sistem mekanis yang tunduk pada hukum-hukum matematika dan ilmu pasti. Semesta dianggap mirip dengan arloji raksasa. Semua hal bisa diprediksi secara kuantitatif, sehingga tidak menyisakan sedikit pun ruang bagi pertimbangan-pertimbangan kualitatif, termasuk mental keruhanian. The Invisible Being (Zat Yang Maha Gaib) tidak dipercaya mempengaruhi atau mengintervensi tatakerja Semesta.
Semangat ilmiah telah menggeser upaya pencarian mendasar tentang hakikat semesta. Pertanyaan filosofis “apa” dan “mengapa” dianggap tidak berguna. Upaya pencarian telos (sebab terakhir, sebagaimana diajarkan Aristoteles) dinafikan. Yang lebih penting dijawab adalah “bagaimana” suatu fenomena alam terjadi—yaitu cara kerjanya. Jawaban pertanyaan “bagaimana” ini menjadi sangat relevan karena membuka peluang untuk lebih memahami alam sebagai jalan untuk menaklukkannya agar mengabdi pada kepentingan manusia. Jika pada era sebelumnya (yaitu Abad Pertengahan) akal dan nalar dijadikan pelayan bagi kepentingan iman kepercayaan, pada zaman ini akal dan nalar berhasil membebaskan diri, menduduki posisi terhormat dan memilih alam untuk melayaninya.
Pelayanan alam membuat manusia semakin terlena, kita semakin asyik menikmatinya dan akhirnya semakin melupakan upaya pencarian kita untuk mengetahui hakikat semesta itu. Secara tidak sadar kita telah mengulangi kesalahan Abad Pertengahan yang menyingkirkan upaya pencarian itu demi kepentingan iman. Bahkan kesalahan kita saat ini lebih besar karena kita mengabaikan pencarian itu hanya karena terlena oleh kenikmatan pelayanan alam yang nilainya jauh lebih rendah daripada iman.
Sains Modern telah berhasil memberikan sumbangan yang melimpah pada peradaban manusia. Tetapi di balik itu muncul kehampaan makna dan kekosongan ruhani. Peradaban buah Sains Modern telah sangat berhasil memanfaatkan secara optimal potensi akal manusia, namun telah menelantarkan sisi lainnya yang lebih kaya dan lebih bermakna. Dalam hingar-bingar teknologi, manusia menjadi semakin terasing dari lingkungannya, bahkan menjadi asing dengan dirinya sendiri. Inilah yang mendorong manusia untuk kembali meneruskan proses pencariannya.
Perkembangan Sains Modern mencengangkan sekaligus membuat gerah dan frustrasi banyak kalangan. Mencengangkan karena dalam waktu relatif singkat mampu menguak begitu banyak rahasia semesta yang bermuara pada teknologi yang memberikan kenyamanan kepada manusia. Membuat gerah karena perkembangan itu menimbulkan berbagai dampak negatif, walaupun bagi kelompok penganut fanatik paradigma Newton dampak itu bukanlah masalah serius karena pasti suatu saat akan bisa dihilangkan atau setidaknya dikurangi oleh temuan teknologi lainnya.
Yang menimbulkan frustrasi adalah ternyata perkembangan Sains Modern bukannya semakin memperkuat fondasi bangunan keilmuannya, tetapi secara langsung maupun tidak langsung telah menggerogoti dirinya sendiri, menggoyahkan pilar-pilar tempatnya bertumpu, sehingga diramalkan pada saatnya bangunan keilmuan itu akan ambruk.
Berbagai temuan sains telah memaksa kita meninjau kembali, bahkan merevisi, pilar-pilar paradigma Sains Modern. Temuan dalam bidang fisika kuantum (berupa paradoks penampakan elektron) menghapus doktrin obyektivisme. Temuan Bell yang diperkuat oleh temuan Alain Aspect di Paris menggoyahkan doktrin reduksionisme, mengukuhkan paham holisme/interkoneksitas dan sekaligus membuat doktrin determinisme kehilangan pijakan. Determinisme juga lebih jauh digugat oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg yang menyatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa menentukan secara tepat posisi dan kecepatan elektron secara bersamaan. Juga oleh fenomena pada tingkat subatom yang memperlihatkan elektron yang meloncat dari satu lintasan ke lintasan lain tanpa sebab yang mendahuluinya.
Teori Chaos, yang memaksa kita memperhatikan perubahan-perubahan kecil karena memiliki potensi nyata untuk mengubah masa depan Semesta (disebut butterfly effect), membuat kita harus menata ulang metode statistika. Sementara itu, Semesta yang terbukti tidak linier dan saling terkait secara dinamis membuat pembidangan yang kita lakukan terhadap ilmu, sesuai dengan anjuran Aristoteles, menjadi tidak relevan, bahkan menciptakan masalah baru.
Semesta juga ternyata bersifat partisipatif sekaligus tertutup. Semesta hanya mau menjawab pertanyaan sesuai dengan cara kita mengajukannya, tetapi menyembunyikan yang lain. Fakta ini membuat metode penelitian perlu revisi mendasar, meninggalkan pendekatan interogatif dan menggantikannya dengan pendekatan keterlibatan atu dialog. Yang lebih penting, pendekatan ilmiah perlu dilengkapi dengan pendekatan lain yang bersifat kualitatif, agar kita bisa memanfaatkan secara optimal potensi kemanusiaan kita, yaitu kecerdasan ruhani dan emosi.
Pembentukan paradigma Harmoni Semesta diharapkan mampu menghadirkan dimensi baru yang akan lebih memperkaya makna kehidupan. Harapan lebih tingginya adalah paradigma HS akan mampu mengantar kita lebih dekat kepada hakikat Semesta yang kita cari sejak puluhan abad silam.
Paradigma HS ditopang oleh 3 pilar utama: (1) harmonisme berpusat-kenabian (yaitu kepercayaan bahwa Semesta beredar pada lintasannya masing-masing mengitari pusat kenabian yang memberikan energi bagi peredarannya); (2) probabilisme (keyakinan bahwa kerja Semesta tidak hanya diatur oleh hukum-hukum alam yang bersifat pasti, tetapi juga oleh hukum-hukum agama yang hubungan sebab-akibatnya sulit ditentukan); (3) relativisme (keyakinan bahwa “kebenaran” tidaklah bersifat obyektif, melainkan relatif, karena sangat bergantung pada pengamat dan cara mengamati. Kebenaran mutlak atau obyektif hanyalah milik Tuhan atau dari sudut pandang Tuhan.)
Pilar Harmonisme berpusat-kenabian adalah lawan dari reduksionisme paradigma Newton; probabilisme lawan dari determinisme; dan relativisme menggantikan obyektivisme.
Sabtu, 12 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar