Untuk menjalani evolusi manusia membutuhkan asupan energi eksternal. Satu sumber energi ini adalah makanan. Tetapi sumber energi ini bisa menjadi hambatan serius bagi upaya-upaya evolusioner jika pikiran kita telah menumbuhkan ketagihan (adiksi) pada kegiatan makan atau pada makanan.
Makanan telah menguasai pikiran kita. Kita tak bisa meluangkan lebih dari beberapa jam tanpa mulai berpikir tentang makan. Studi-studi tentang psikologi kehidupan sehari-hari mengisyaratkan bahwa rata-rata orang meluangkan antara 10 dan 15 persen dari kehidupan sadar mereka (artinya di luar tidur) dengan makan atau berpikir tentang makanan. Bagi orang-orang dengan kelainan-kelainan makan, angkanya 2 kali lipat—hampir sepertiga hari diisi dengan kekhawatiran atau obsesi tentang makanan.
Dalam kasus-kasus ekstrim, tidak mampu menahan rasa lapar kita bisa mematikan. Secara seragam dilaporkan oleh orang-orang yang pernah menghabiskan waktu dalam kamp-kamp konsentrasi bahwa para tawanan yang mati lebih dulu adalah mereka yang tak bisa melepaskan pikiran mereka dari makanan, dan mau berbuat apa saja untuk mendapatkannya. Seseorang yang menghabiskan bertahun-tahun dalam gulag-gulag Soviet menceritakan bahwa dalam salah satu kamp staf dapurnya menghibur diri dengan membuang kupasan-kupasan kentang—satu-satunya limbah yang bisa dimakan—tepat di sebelah kakus, tempat kupasan-kupasan itu akan langsung tercemari kotoran. Memakan kulit-kulit kentang mentah ini berarti bunuh diri—tetapi selalu ada beberapa napi yang tidak bisa menahan diri, dan tidak mengindahkan peringatan-peringatan memakan lahap kupasan-kupasan itu, biasanya untuk mati segera setelah itu akibat infeksi usus.
Kita tidak mengalami masalah-masalah separah ini. Tetapi jika membaca majalah-majalah populer kita mendapat kesan bahwa bahkan dalam masyarakat kita kebanyakan orang masih terlibat dalam pertarungan tetap melawan obsesi dengan makanan. Nampaknya suatu diet atau makanan baru muncul tiap minggu, menjanjikan penyelamatan kepada khalayak yang kelebihan berat badan.
Para selebriti membahas strategi-strategi pengawasan-bobot mereka dengan keseriusan yang dulu diperuntukkan bagi penyelamatan jiwa. Para pegawai yang duduk-terus di Amerika Serikat mengonsumsi sebanyak 8.000 kalori sehari—hampir tiga kali lipat yang sebenarnya dibutuhkan tubuh—dan ini mau tak mau menyebabkan kenaikan berat badan yang membahayakan kesehatan. Jelas kita jauh dari telah mengambil kendali atas nafsu-nafsu kita.
Apakah ini berarti bahwa adalah lebih baik mempertanyakan setiap gerak yang kita buat, dan mencoba meredam hasrat seks, atau mencoba berhenti makan, atau menahan diri dari memiliki anak, karena ini sebenarnya bukan tujuan-tujuan kita, tetapi tujuan-tujuan yang telah ditanamkan dalam pikiran-pikiran kita oleh gen-gen keakuan? Tindakan macam ini tentu akan merugikan diri. Tidak ada jalan untuk lepas dari kebutuhan kehidupan biologis. Akan congkak mencoba meramalkan kearifan jutaan tahun adaptasi, seandainyapun kita mungkin melakukannya. Pada saat yang sama, kelangsungan hidup dalam milenium ini akan mengharuskan kita lebih mengerti bagaimana kita dimanipulasi oleh zat-zat kimia dalam tubuh kita.
Sebagai langkah pertama, seiring kita menjalani rutinitas-rutinitas harian, akan melegakan jika kita berhenti dan merenung mengapa kita melakukan hal-hal yang kita lakukan. Ada gunanya untuk mengetahui, jika kita mendapat sekerat daging ketiga untuk sarapan, bahwa kita tidak cuma sedang menjalankan pilihan bebas atau mengumbar dorongan sesaat, tetapi mungkin sedang dimanipulasi perintah-perintah dari sebuah gen lapar berumur 3-juta tahun. Tidak masalah apakah kita terus memakan potong ketiga itu atau tidak. Yang penting adalah bahwa, sekalipun hanya selama beberapa detik, kita telah menginterupsi atau menyela determinisme otomatis dari gen-gen itu—bahwa untuk saat itu, kita telah mengangkat tabir pertama dari evolusi.
Merenungkan sumber dari impulse (dorongan hati), dari kebiasaan-kebiasaan, adalah langkah pertama dalam mengendalikan energi psikis kita. Mengetahui asal dari motif-motif, dan menjadi sadar akan praduga-praduga kita adalah prasyarat bagi kebebasan. Tapi tidaklah cukup mengetahui bagaimana perintah-perintah genetik menjaga kita terus melakukan apa yang perintah-perintah itu inginkan kita untuk lakukan. Tabir kedua adalah yang dengannya kebudayaan dan masyarakat—tatanan-tatanan manusia yang ke dalamnya kita lahir—menyelubungi realitas, menutupi alternatif-alternatif untuk menggunakan energi psikis kita demi tujuan-tujuannya sendiri.
Rabu, 16 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar