Kamis, 17 April 2008

Adiksi (Ketagihan) Pada Kesenangan

Kepercayaan berlebihan pada kebijaksanaan tubuh adalah berbahaya. Inilah yang menjelaskan mengapa ketagihan makan atau makan berlebihan dsb. membahayakan perjalanan evolusi semesta.

Nenek moyang kita telah berulang-ulang berganti dari mempercayai pikiran-pikiran mereka ke mempercayai indera-indera mereka. Sosiolog Pitirim Sorokin telah menggambarkan perubahan-perubahan dalam pandangan-dunia ini dalam riset-risetnya tentang sejarah kebudayaan, yang dia lihat sebagai berganti-ganti antara fase-fase ideational (atau yang diatur-nilai) dan fase-fase inderawi (atau yang diatur-kesenangan).

Dalam era silam kita telah saksikan satu transisi, yang berawal di awal abad ke-20, mengambil momentum setelah Perang Dunia I, semakin cepat setelah Perang Dunia II, dan mencapai pundaknya pada akhir 1960-an. Fase indrawi pada 1990-an ditandai oleh legitimasi yang meningkat atas materialisme (orang-orang mungkin sebelumnya sama berorientasi materi, tetapi sedikit yang peduli untuk mengakuinya terang-terangan), penolakan berangsur terhadap represi-represi perilaku dan kaidah-kaidah moral yang dilihat sebagai munafik, kehilangan keimanan pada nilai-nilai permanen, sikap self-centered yang mencintai diri sendiri, dan pencarian tanpa-malu terhadap kepuasan inderawi.

Satu rumusan populer dari pandangan-dunia ini adalah “falsafah Playboy” yang dicetuskan oleh Hugh Hefner, penerbit dari majalah pertama yang terdistribusi luas dari zaman inderawi baru. Falsafah ini menemukan gayung bersambut dalam banyak sekte, terapi, dan gaya hidup yang telah mencuat di Pesisir Barat AS selama dua generasi terakhir dan yang memuji capaian tanpa-batas dari potensi-potensi manusia. Pesan dasar dari gerakan ini adalah bahwa kita perlu melakukan apa yang terasa enak, karena tubuh paling tahu. Segala usaha untuk mencampuri kesenangan dicurigai, bagian dari suatu persekongkolan untuk membuat hidup kita lebih sengsara.

Tesis ini tak akan telah membuat banyak perubahan selama ia tetap suatu “filsafat,” kecuali bahwa ia bertepatan dengan suatu periode sejarah di mana banyak dari ajaran-ajarannya bisa sesungguhnya dilaksanakan. Kelimpahan materi terus bergulir maju. Mobil-mobil, kontrasepsi, bak-bak panas, dan berbagai kenyamanan memungkinkan banyak orang untuk merasa bahwa mereka memang bisa memuaskan setiap dorongan hati tanpa takut akan konsekuensi-konsekuensi.

Namun, seperti nyatanya, ada banyak bukti yang mengisyaratkan bahwa tubuh kita tidak tahu apa yang baik baginya. Makin banyaknya pecandu narkoba, alkohol, korban penyakit-penyakit seks, kehamilan tak diinginkan, dan pemakan berlebihan menunjukkan bahwa melakukan apa yang terasa baik bisa dengan mudah membawa pada perasaan sangat buruk. Tikus-tikus yang punya pilihan antara makan dan merangsang secara elektrik pusat-pusat kesenangan dari otak mereka akan memilih perangsangan itu dan mati kelaparan. Monyet-monyet yang ketagihan heroin akan bekerja sampai mereka mati kecapekan untuk mendapat dosis lagi. Perilaku serupa di jalan-jalan kota kita menunjukkan betapa mudahnya otak tunduk pada kesenangan.

Kesenangan, menurut pengertian evolusi, adalah suatu pengalaman yang dirasakan saat kita melakukan sesuatu yang pada masa lalu telah berguna untuk kelangsungan hidup. Ia adalah hasil dari perangsangan kimiawi atas reseptor-reseptor saraf yang sesuai, biasanya oleh zat-zat yang si organisme telah butuhkan untuk perfungsian optimal.

Contohnya, ketika para leluhur amat jauh kita hidup di laut, tubuh mereka menjadi teradaptasi dengan suatu lingkungan asin. Meskipun ras manusia telah hidup di darat selama berjuta-juta tahun, ia masih membutuhkan pasokan tetap garam untuk mengisi keseimbangan fisiologis dari tubuh, memelihara metabolisme air internal, dan menjaga potensi listrik lintas selaput-selaput sel yang diperlukan bagi jantung untuk memompa darah. Seiring waktu, rasa garam telah menjadi menyenangkan, suatu adaptasi mujur yang memastikan bahwa kita akan mencari-carinya dan mengonsumsi jumlah yang perlu.

Ini dulu bagus dalam lingkungan-lingkungan di mana garam jarang. Para pedagang membawa gumpalan-gumpalannya sepanjang jarak-jarak yang besar dan menukarnya dengan gading dan logam-logam mulia; perang-perang diterjuni untuk mendapatkan lebih banyak garam; tambang-tambang garam adalah di antara harta-harta paling berharga dari kekaisaran-kekaisaran awal. Karena garam saat itu begitu mahal, sulit untuk mengalami overdosis. Kesenangan dari rasa asin dengan rapi diimbangin oleh kelangkaannya.

Tetapi seiring nenek moyang kita belajar mengekstraksi dan memadatkan garan secara lebih efisien, ia menjadi lebih segera tersedia dan karena itu lebih murah. Kini satu kemasan keripik kentang bisa memberikan lebih banyak garam daripada makanan-makanan masa lalu yang terkandung dalam banyak hari. Garam masih terasa enak, tetapi kini kita mengonsumsinya terlalu banyak sehingga membahayakan kesehatan kita dalam prosesnya.

Pola sama berlaku untuk lemak-lemak, gula, alkohol, dan zat-zat lain yang bisa dengan mudah menjadi adiktif. Karena dahulu mereka baik bagi kita, kita belajar untuk menyukainya. Tetapi setelah kedatangan budaya, kondisi-kondisi mulai berubah lebih dan lebih pesat, dan pusat-pusat kesenangan dalam otak tidak punya waktu untuk beradaptasi. Dalam hanya satu periode 40-tahun setelah 1860, produksi gula dunia total meningkat 500%. Dan sampai 1990 ada sekitar 17,7 juta warga Amerika dengan permasalahan alkohol, dan 9,5 juta pemakai kronis obat-obatan terlarang.

Gen-gen kita tidak punya waktu untuk belajar bahwa terlalu banyak garam, gula, kokain, atau alkohol adalah tak sehat. Karena mereka tak pernah harus khawatir tentang adanya terlalu banyak dari zat-zat ini sebelumnya, tiada pertahanan telah dibangun melawan kelebihan. Akibatnya, kesenangan menjadi suatu panduan menyesatkan pada perilaku.

Yang berlaku bagi zat-zat kimia juga berlaku bagi perilaku-perilaku yang menyenangkan karena ia membantu kelangsungan hidup, tetapi bisa menjadi berbahaya jika ia terlalu diumbar. Antropolog Lionel Tiger berdalih bahwa seks, pengamalan dominansi dan kekuasaan, dan pergaulan sosial semuanya menyenangkan karena mereka membantu kelangsungan hidup pada masa lalu.

Contohnya, seorang Zaman Batu penyendiri akan telah kesulitan menemukan jodoh yang dengannya untuk menghasilkan anak, dan akan segera dilahap oleh kucing-kucing besar yang berkeliaran di savanah. Hanya orang-orang yang merasakan kesenangan dalam pertemanan kelompok, dan tak pernah tersesat jauh dari orang-orang lainlah, yang bertahan hidup. Dus kita semua turun dari nenek moyang yang ekstrovert—mereka yang bertahan hidup—dan otak kita terjalin untuk mengalami kesenangan saat bersama orang-orang lain. Tetapi sikap gaul, seperti perilaku-perilaku adaptif berguna lainnya, dalam masa kita sendiri bisa dengan mudah dilakukan berlebihan dan lalu menjadi tidak sehat.

Evolusi nampaknya telah memberi kita suatu mekanisme efisien untuk membuat kita melakukan apa yang baik bagi kita—pengalaman kesenangan. Tetapi untuk menghemat usaha (dan evolusi adalah selalu soal menghemat usaha, karena entropi atau potensi kekacauan begitu kuat dan energi begitu sulit diperoleh), ia tidak memberikan suatu mekanisme pelengkap untuk menginderai suatu rata-rata emas dan menghindari ekses. Seperti kata Tiger, memparafrase sejarawan Santayana, “Mereka yang tidak belajar dari prasejarah terkutuk untuk mengulang sukses-suksesnya.” Otak tak akan memberitahu kita kapan cukup itu cukup.

Satu-satunya cara untuk menghindari jadi secara berbahaya bergantung pada kesenangan adalah menggunakan akal. Hanya melalui perenungan sadar kita bisa tentukan berapa banyak dari apa yang nampak baik sesungguhnya baik bagi kita, dan lalu mengambil suatu disiplin yang memungkinkan kita berhenti pada ambang. Inilah persisnya yang telah coba dilakukan agama-agama: memberikan perintah-perintah budaya untuk berteguh pada rata-rata emas.
Misalnya, Islam, Kristen, dan Budha, tiga dari agama-agama tertua dan paling tersebar luas, semua sangat menganjurkan penahanan nafsu-nafsu yang tak terkontrol. Ketujuh dosa maut agama Kristen memperingatkan terhadap kebanggaan berlebihan, terlalu banyak harta materi, seks berlebihan, terlalu banyak makanan dan minuman, kemarahan, dan kemalasan. Sama halnya 4 Kebenaran Agung agama Budha menyatakan bahwa (1) penderitaan adalah suatu bagian esensial kehidupan, (2) sebab dari penderitaan adalah hasrat terhadap kesenangan inderawi, (3) kebebasan dari penderitaan memerlukan penyingkiran hasrat, dan (4) penyingkiran hasrat dicapai dengan mengikuti 8 Jalan Agung—yang gilirannya adalah suatu sistem disiplin-diri di mana kita belajar mengendalikan nafsu-nafsu tak berbatas dari tubuh.

Tidak ada komentar: