Flow adalah sebuah buku yang ditulis oleh Mihaly Czikszentmihalyi pada 1990. Flow melaporkan 25 tahun riset psikologis tentang kebahagiaan. Ia menyajikan rangkuman prinsip-prinsip yang membuat hidup bermakna. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini:
· Mengapa sebagian orang mencintai pekerjaan mereka, berbahagia dengan keluarga mereka, dan menikmati berjam-jam waktu yang diluangkan berpikir sendirian sementara orang-orang lain membenci pekerjaan mereka, bosan di rumah, dan takut sendirian?
· Bagaimana rutinitas-rutinitas hidup sehari-hari bisa diubah sehingga semua itu terasa semengasyikkan berski menuruni lereng gunung, sebermakna mengikuti suatu ritual suci?
Studi-studi yang telah dilakukan Mihaly dll. mengisyaratkan bahwa perubahan-perubahan itu adalah mungkin.
Setelah bertahun-tahun riset sistematis, waktunya tiba untuk menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari, dan menyajikannya kepada masyarakat. Flow telah sukses melebihi dugaan dalam mencapai maksud ini; namun, untuk menyempurnakan argumennya, banyak isu yang tidak bisa dijawab dalam buku itu masih harus dijelajahi.
Minat Mihaly pada kegembiraan berawal pada 1963 ketika dia sedang mengerjakan disertasi doktoral dalam perkembangan manusia di Universitas Chicago. Tesisnya berkisar seputar suatu isu sentral dalam kreativitas: Bagaimana orang-orang sampai menemukan pertanyaan-pertanyaan baru? Bagaimana mereka mengenali permasalahan yang belum pernah dipikirkan orang lain? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Mihaly memutuskan mengamati para seniman yang sedang bekerja. Dengan mencatat dan memotret bagaimana lukisan-lukisan berkembang dan lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada para seniman itu sesudahnya tentang apa yang berlangsung dalam pikiran mereka sementara mereka bekerja, Mihaly berharap mendapatkan wawasan berguna tentang proses kreativitas.
Meski risetnya tentang kreativitas terbukti sukses, muncul hal yang lebih penting lagi dari pengamatan-pengamatannya terhadap para seniman yang sedang bekerja. Yang mengesankannya adalah menjadi betapa totalnya para seniman itu larut (fana) dengan apa yang sedang muncul pada kanvas. Suatu keadaan setengah-sadar tampaknya merenggut mereka saat mereka berjuang untuk memberi bentuk pada visi mereka. Ketika sebuah lukisan mulai jadi menarik mereka tak bisa melepaskan diri darinya; mereka melupakan rasa lapar, kewajiban-kewajiban sosial, waktu, dan kelelahan sehingga mereka bisa terus mengerjakannya. Tetapi ketakjuban ini berlangsung hanya selama sebuah gambar tetap belum selesai; begitu ia berhenti berubah dan berkembang, sang seniman biasanya menyandarkannya di dinding dan mengarahkan perhatiannya ke kanvas kosong berikutnya.
Nampak jelas bahwa yang begitu memesona tentang lukisan bukanlah antisipasi terhadap sebuah gambar yang indah, melainkan proses melukis itu sendiri. Awalnya ini tampak aneh, karena teori-teori psikologi biasanya menganggap bahwa kita termotivasi baik oleh kebutuhkan untuk menyingkirkan suatu kondisi tak menyenangkan seperti lapar atau takut, atau oleh harapan akan imbalan mendatang seperti uang, status, atau gengsi. Gagasan bahwa seorang bisa bekerja sepanjang hari selama berhari-hari, demi alasan yang tidak lebih baik daripada untuk terus bekerja, tak punya kredibilitas. Tetapi kalau kita berhenti untuk merenungi, perilaku ini tidak sejanggal ia mungkin nampak awalnya. Para seniman bukan satu-satunya kelompok yang meluangkan waktu dan usaha pada suatu kegiatan yang punya sedikit ganjaran di luar dirinya. Bahkan, setiap orang mencurahkan banyak waktu melakukan hal-hal yang tak dapat dipahami kecuali kita menganggap bahwa kegiatan itu dinikmati demi kepentingannya sendiri. Anak-anak menghabiskan banyak hidup mereka bermain. Orang-orang dewasa juga bermain seperti catur, berolahraga, berkebun, belajar memainkan gitar, membaca novel, pergi ke pesta, berjalan di hutan—dan melakukan ribuan hal lain—bukan karena alasan yang bagus kecuali bahwa kegiatan-kegiatan itu mengasyikkan.
Tentu, selalu ada kemungkinan bahwa orang akan juga jadi kaya atau tenar dengan melakukan hal-hal ini. Si seniman mungkin mujur dan menjual kanvasnya ke sebuah museum. Sang gitaris mungkin belajar bermain begitu bagus sehingga seorang menawarinya kontrak rekaman. Kita mungkin memberi alasan berolahraga untuk tetap sehat, dan pergi ke pesta karena kemungkinan kontak bisnis atau petualangan seks. Tujuan-tujuan eksternal sering hadir di belakang, tapi tujuan-tujuan itu jarang jadi alasan utama mengapa kita menekuni kegiatan-kegiatan itu. Alasan utama untuk bermain gitar adalah bahwa ia menyenangkan, begitu pun berbincang dengan orang-orang di pesta. Tidak setiap orang suka bermain gitar atau pergi ke pesta, tapi mereka yang meluangkan waktu padanya biasanya melakukannya karena kualitas pengalaman saat terlibat dalam kegiatan-kegiatan ini secara intrinsik memuaskan. Singkatnya, sebagian hal mengasyikkan saja untuk dilakukan.
Namun, kesimpulan ini tidak membawa kita sangat jauh. Pertanyaan jelasnya adalah, Kenapa hal-hal ini mengasyikkan? Cukup aneh, saat kita mencoba menjawab pertanyaan itu, ternyata bahwa berkebalikan dengan yang akan telah kita duga, beragam kegiatan menyenangkan memiliki beberapa ciri yang sama. Jika seorang pemain tenis ditanya bagaimana rasanya saat suatu permainan berjalan baik, dia akan menggambarkan suatu keadaan pikiran yang sangat mirip dengan gambaran yang akan diberikan seorang pemain catur tentang turnamen yang baik. Begitu pun gambaran bagaimana rasanya larut dalam melukis, atau memainkan musik yang sulit. Menonton drama yang bagus atau membaca buku yang merangsang juga nampak menghasilkan keadaan mental yang sama. Mihaly menyebutnya “flow,” karena ini adalah tamsil yang diberikan beberapa responden untuk bagaimana rasanya saat pengalaman mereka paling menyenangkan—itu seperti dihanyutkan oleh suatu arus, segalanya bergerak mulus tanpa upaya.
Berlawanan dengan dugaan, “flow” biasanya terjadi bukan selama saat-saat santai kesenggangan dan hiburan, melainkan ketika kita terlibat aktif dalam suatu pekerjaan sulit, dalam suatu tugas yang merentang kemampuan-kemampuan fisik atau mental kita. Segala kegiatan bisa menghasilkannya. Mengerjakan pekerjaan menantang, menaiki puncak ombak besar, dan mengajari anak kita huruf-huruf abjad adalah macam-macam pengalaman yang memfokuskan seluruh wujud kita dalam suatu arus energi harmonis, dan mengentas kita keluar dari kecemasan-kecemasan dan kejenuhan yang menandai begitu banyak dari kehidupan sehari-hari.
Ternyata bahwa saat tantangan-tantangan tinggi dan ketrampilan pribadi digunakan sampai maksimal, kita mengalami keadaan kesadaran yang jarang ini. Gejala pertama flow adalah penyempitan perhatian atas suatu tujuan yang dibatasi jelas. Kita merasa larut, terpusat, asyik. Kita tahu harus melakukan apa, dan kita mendapat umpan-balik segera tentang seberapa baik kita melakukan. Si pemain tenis tahu setelah tiap pukulan apakah bolanya benar-benar pergi kemana dia ingin bola itu pergi; si pianis tahu setelah tiap pijitan keyboard apakah nada-nadanya terdengar seperti seharusnya. Bahkan suatu pekerjaan yang biasanya membosankan, begitu tantangan-tantangannya diseimbangkan dengan ketrampilan orangnya dan tujuan-tujuannya diperjelas, bisa mulai mengasyikkan.
Kedalaman konsentrasi yang dibutuhkan oleh keseimbangan halus tantangan-tantangan dan ketrampulan mencegah khawatir tentang soal-soal yang sementara tak relevan. Kita lupa diri dan jadi larut dalam kegiatan itu. Seandainya si pendaki-tebing ingin khawatir tentang pekerjaannya atau kehidupan asmaranya saat dia sedang bergantung dengan ujung-ujung jarinya di atas jurang, dia akan segera jatuh. Si musisi akan memetik nada yang salah, si pemain catur akan kalah.
Penggunaan ketrampilan-ketrampilan yang berpadanan memberikan suatu rasa kontrol terhadap tindakan-tindakan kita, tetapi karena kita terlalu sibuk untuk memikirkan diri sendiri, tidak masalah apakah kita berkuasa atau tidak, apakah kita menang atau kalah. Sering kita merasakan transendens, seolah-olah batas-batas dari diri telah diluaskan. Sang pelaut merasa menyatu dengan perahunya, angin, dan laut; sang penyanyi merasakan harmoni semesta yang misterius. Dalam momen-momen itu kesadaran akan waktu lenyap, dan waktu nampak berlalu pesat tanpa kita sadari.
Keadaan kesadaran ini, yang mendekati apa yang kita sebut kebahagiaan, bergantung pada 2 himpunan syarat. Pertama adalah eksternal. Kegiatan-kegiatan tertentu lebih condong menghasilkan flow daripada lainnya karena (1) mereka punya tujuan-tujuan konkrit dan aturan-aturan yang bisa dikelola, (2) mereka memungkinkan menyesuaikan peluang-peluang untuk tindakan dengan kapasitas kita, (3) mereka memberikan informasi jelas tentang seberapa baik kita berbuat, dan (4) mereka menyingkirkan gangguan-gangguan dan memungkinkan konsentrasi. Permainan olahraga, penampilan seni, dan ritual-ritual keagamaan adalah contoh bagus dari “kegiatan-kegiatan flow” macam itu.
Tapi salah satu temuan terpenting dari studi-studi Mihaly dkk. adalah bahwa segala kegiatan bisa menghasilkan pengalaman flow optimal, selama ia memenuhi persyaratan tadi. Para dokter menggambarkan melakukan bedah sebagai suatu “olahraga kontak-badan” adiktif yang serupa dengan berlayar atau berski; para pemrogram komputer sering tak bisa memisahkan diri dari keyboard mereka. Bahkan, orang-orang nampaknya mendapat lebih banyak flow dari apa yang mereka lakukan pada pekerjaannya daripada dari aktivitas-aktivitas senggang dalam waktu luang.
Himpunan syarat kedua yang memungkinkan terjadinya flow adalah dari dalam orangnya. Sebagian orang punya kemampuan aneh untuk menyesuaikan ketrampilan mereka dengan peluang-peluang di sekitar mereka. Mereka menetapkan tujuan-tujuan yang terkelola bagi diri sendiri sekalipun saat nampaknya tidak ada apa pun untuk mereka kerjakan. Mereka bagus dalam membaca umpan-balik yang orang lain tidak perhatikan. Mereka bisa berkonsentrasi dengan mudah dan tidak terganggu. Mereka tidak takut kehilangan diri, sehingga ego mereka bisa dengan mudah keluar dari kesadaran. Orang-orang yang telah belajar mengendalikan kesadaran dengan cara-cara ini memiliki “kepribadian flow.” Mereka tak perlu bermain untuk ada dalam flow; mereka bisa bahagia bahkan saat mereka bekerja di jalur perakitan atau sedang merana dalam kesendirian.
Dalam Flow Mihaly menggambarkan orang-orang yang menjadikan hidup mereka relatif bahagia dan bermakna dengan memasukkan sebanyak mungkin flow ke dalam pekerjaan mereka dan hubungan-hubungan mereka. Sebagian orang ini adalah para pengembara tunawisma sedangkan lainnya telah menderita tragedi-tragedi memilukan seperti kebutaan atau kelumpuhan; namun semua telah mampu mengubah kondisi-kondisi yang tampaknya tanpa harapan menjadi kehidupan yang tenang penuh sukacita.
Tetapi Mihaly juga menyatakan fakta bahwa sulit untuk membangun suatu kehidupan bahagia dengan hanya menambahkan serangkaian pengalaman flow. Dalam hal ini keseluruhannya tentu lebih daripada jumlah bagian-bagiannya. Seorang seniman mungkin melukis selama puluhan tahun dan mencintai tiap menitnya, namun menjadi depresi dan tanpa harapan dalam usia paruh-baya. Untuk mengubah keseluruhan hidup menjadi suatu pengalaman flow yang terpadu, kita harus memiliki keyakinan terhadap suatu sistem makna yang memberi makna pada wujud kita.
Dahulu, keyakinan biasanya didasarkan pada penjelasan-penjelasan agama. Bagaimana dunia berawal, mengapa kita harus menderita, apa akan terjadi setelah kita mati—pertanyaan-pertanyaan dasar ini dijawab oleh kisah-kisah terbaik yang bisa dikarang orang-orang, dalam upaya untuk memberi tertib pada kekacauan dan ketaksengajaan kehidupan. Kisah-kisah mitos dari semua agama membahas soal-soal ini, dan mereka kerap tiba pada kesimpulan logis bahwa pasti ada satu Tuhan, atau banyak dewa, yang bertanggung jawab atas nasib kita.
Berdasarkan kisah-kisah ini, setiap agama telah mengembangkan kaidah-kaidah untuk hidup, kerap bijak dalam konsekuensi-konsekuensinya, yang memungkinkan orang-orang menjalani kehidupan yang serasi. Makna-makna yang telah ditemukan umat manusia melalui agama telah berperan fundamental, dan mungkin tak tergantikan dalam sejarah evolusi kita. Kita akan jadi macam hewan yang amat berbeda seandainya nenek moyang kita telah gagal membayangkan sebuah kosmos yang bermakna.
Tetapi kini, di awal milenium ketujuh setelah kebangkitan Adam, sulit untuk meyakini kisah-kisah tradisi itu. Kandungan harfiah dari naskah-naskah suci, dari ritual-ritual kuno, dari aturan-aturan seperti yang melarang perceraian atau aborsi, nampaknya makin dan makin berlawanan dengan hal-hal lain yang telah kita temukan tentang dunia. Sedikit orang kini percaya bahwa Bumi adalah rata atau di pusat tata surya. Meskipun banyak sekali orang masih percaya bahwa Bumi baru ada beberapa ribu tahun Sebelum Masehi, dan bahwa manusia diciptakan sebagaimana bentuknya kini dari segumpal tanah liat, keyakinan-keyakinan macam itu cenderung menjadi semakin tidak pada tempat dan waktunya—setidaknya dalam bentuk harfiahnya—seiring setiap generasi baru.
Penerusan kepercayaan-kepercayaan tradisional adalah suatu masa berbahaya bagi segala kebudayaan. Dalam mencampakkan suatu penjelasan agamis harfiah, menjadi mudah untuk mendiskreditkan kearifan yang sering tersatukan dengannya. Ketika kronologi dan hubungan sebab-akibat dari Injil atau Alqur’an menjadi disangsikan, begitu pun perintah-perintahnya menentang ketamakan, kekerasan, zina, dan kesombongan. Untuk sementara mereka yang menolak seluruh pandangan-dunia tradisional merasa terbebas, dan girang berada di sebuah tanah baru tanpa aturan atau batasan-batasan. Namun, segera menjadi jelas bahwa hidup dalam kebebasan mutlak adalah mustahil maupun menguntungkan. Tanpa aturan-aturan berdasarkan pengalaman silam adalah mudah untuk membuat kesalahan-kesalahan mahal; tanpa pengertian tentang tujuan akhir sulit untuk mempertahankan keberanian ketika tragedi-tragedi hidup yang tak terhindari mendera. Tapi di manakah kita temukan suatu keyakinan yang bisa kita yakini dalam milenium ketujuh ini?
Flow berakhir dengan usulan bahwa dengan lebih memahami masa lalu evolusioner kita, kita bisa menghasilkan azas-azas bagi suatu sistem makna yang layak, suatu keimanan yang bisa memberi tertib dan tujuan pada hidup kita di masa depan. Mengenali diri sendiri adalah prestasi terbesar dari spesies kita. Dan untuk memahami diri sendiri—terbuat dari apa kita, motif-motif apa yang menggerakkan kita, dan tujuan-tujuan apa yang kita impikan—pertama-tama memerlukan pemahaman tentang masa lalu evolusioner kita. Hanya di atas landasan itulah kita bisa membangun suatu masa depan yang bermakna dan stabil. Guna lebih jauh mengembangkan keyakinan inilah pandangan-dunia Harmoni Semesta dikembangkan.
Senin, 14 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar