Untuk menjadi mitra aktif dalam evolusi positif, tidaklah cukup bagi Semesta memiliki kemampuan untuk melihat dengan jernih dan bertindak secara bebas sehingga kita tidak akan lagi berada di bawah kendali tubuh, budaya, atau ego. Ada kendala-kendala lain yang lebih dulu harus dihadapi.
Berbeda dengan praduga-praduga yang sifatnya internal, kendala-kendala ini timbul dari interaksi dengan unsur-unsur lain Semesta. Hambatan-hambatan ini adalah akibat dari tekanan-tekanan persaingan yang melekat dalam evolusi. Semua kita punya perangsang melekat untuk memanfaatkan orang-orang lain untuk memajukan kepentingan-kepentingan kita sendiri.
Kita semua mencoba untuk mendapat sebanyak mungkin kekuasaan, untuk mengambil sebanyak mungkin energi dari lingkungan, untuk membuat hidup kita lebih terjamin dan nyaman. Karena itu penindasan (opresi) dan eksploitasi parasitik merupakan ciri-ciri tetap dari evolusi. Tetapi opresi dan eksploitasi juga menyimpangkan persepsi terhadap realitas, baik bagi mereka yang menang maupun bagi mereka yang kalah dalam prosesnya.
Satu ciri yang membedakan manusia dari hewan-hewan lain—mungkin sekhas ucapan atau postur tegak—adalah fakta bahwa kita menemukan begitu banyak cara untuk menindas dan mengekploitasi satu sama lain. Perbedaan-perbedaan kekayaan, status, dan ilmu memungkinkan sebagian orang untuk hidup dari energi psikis yang dikeluarkan oleh orang-orang lain.
“Kekuasaan” adalah istilah umum untuk menggambarkan kemampuan seseorang untuk membuat orang-orang lain menjalankan hidup mereka untuk memuaskan tujuan-tujuannya. Kekuasaan bisa didasarkan pada uang, harta milik, rasa takut, atau rasa hormat; ia bisa di dijalankan oleh seseorang atau oleh sekelompok. Kekuasaan bisa berbahaya, karena seperti dipandang Lord Acton, “Kekuasaan cenderung untuk korup; kekuasaan mutlak mengkorupsi secara mutlak.”
Sekalipun dengan niat-niat terbaik, satu individu, kelompok, atau negara yang berkuasa pada akhirnya akan menganggap bahwa ia punya hak untuk hidup lebih baik daripada mereka yang kurang berkuasa. Rata-rata orang yang hidup di Amerika Serikat menghabiskan jauh lebih banyak sumberdaya alam daripada orang yang lahir di India atau Cina. Baik kita suka atau tidak, kita punya potensi untuk mengendalikan hidup orang-orang lain yang tidak kita kenal yang memiliki lebih sedikit sumberdaya, dan karena itu untuk mengeksploitasi mereka, sampai derajat yang belum pernah ada dalam sejarah.
Ketika ada perbedaan-perbedaan besar dalam kekuasaan, eksploitasi terjadi bahkan saat orang-orang mempunyai niat-niat terbaik. Contohnya, di negara-negara Teluk yang relatif baru kaya seperti Kuwait, alamiah bagi para warganya menolak untuk melakukan kerja-kerja tak terampil seperti menyapu jalan, mengemudikan truk, membangun rumah, atau bahkan menjadi polisi dan tentara.
Di sisi lain, ribuan warga Pakitan dan Filipina bersemangat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ini, demi upah yang jauh lebih rendah daripada seorang Kuwait akan berharap dibayar. Karena itu sangatlah masuk akal untuk memasukkan jutaan “buruh pendatang” dunia-ketiga untuk melakukan kerja kasarnya. Skenario ini tentu akrab bagi setiap negara yang relatif kaya, mulai Swedia sampai Italia. Di AS inilah alasan untuk arus masuk yang ajeg para pekerja tak tercatat dari Meksiko dan Eropa Timur.
Tidak ada yang salah dengan penyesuaian-penyesuaian ulang kependudukan yang bersifat sukarela macam itu. Sepanjang kedua pihak puas, tidak ada masalah penindasan atau eksploitasi. Sayangnya kesetimbangan macam itu tetap stabil hanya untuk jangka pendek. Seorang pekerja Turki di Jerman, atau pekerja Meksiko di AS, akan segera mulai mengidamkan tunjangan-tunjangan sosial yang tersedia bagi para warga yang lebih kuasa. Asuransi kesehatan, jaminan sosial, program pensiun, tunjangan pengangguran, hak pilih—semua tetek bengek dari hidup dalam suatu masyarakat penuh kuasa mulai dipertanyakan. Tentu para warga dari negara penerimanya cenderung menjadi jengkel terhadap kehendak-kehendak macam itu—lagipula, para tamu itu diajak masuk memang karena mereka tidak berharap banyak awalnya. Di titik ini, lahan siap untuk suatu konflik dengan tuduhan-tuduhan dan tudingan-tudingan balasan eksploitasi.
Untuk menghindari akibat serupa ini, banyak bangsa lebih kaya telah mengambil berbagai kebijakan yang memungkinkan mereka menggunakan buruh yang lebih murah tanpa menciptakan suatu kelas-bawah yang merepotkan. Contohnya, ribuan pemuda datang tiap tahun di Swiss dari Spanyol, Portugal, dan praktis tiap negara lain untuk mencuci piring dan membersihkan kamar di banyak sekali hotel yang memberi bangsa itu sumber arus kasnya yang paling handal.
Para pekerja tamu ini menerima visa yang memberi mereka hak untuk bekerja selama sejumlah bulan persis kurang dari yang akan diperlukan untuk memenuhi syarat untuk mulai mendapat perawatan kesehatan dan tunjangan-tunjangan sosial lainnya; pada saat itu mereka harus pulang kampung. Setelah setahun mereka bisa kembali, tapi lagi-lagi hanya selama jangka yang persis kurang dari mendapat santunan. Rencana-rencana macam ini tentu sangat masuk akal, namun mereka tidak sepenuhnya bebas dari eksploitasi.
Dahulu, AS telah mampu menyerap gelombang-gelombang besar imigran miskin tanpa menciptakan suatu kelas-bawah yang selamanya tercabut hak-haknya—dengan mungkin perkecualian penduduk Afrika-Amerika dan Pribumi Amerika. Sejauh mana negara ini akan mempertahankan kapasitasnya untuk memelihara suatu masyarakat yang relatif tanpa-kelas masih perlu dilihat. Tampaknya, jurang antara kaum punya dan tidak-punya meningkat. Jika tren-tren sekarang berlanjut, seiring waktu, pewarisan kekayaan dan status condong lebih berperan dalam menentukan siapa yang akan mampu menggunakan energi psikisnya secara bebas, dan siapa yang akan dieksploitasi.
Jumat, 18 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar