Rabu, 04 Juni 2008

Pendahuluan: Apa Yang Salah Dengan Kita

Krisis Moneter 1997, yang kemudian berkembang menjadi Krisis Total, merupakan momen yang mengungkap kebobrokan sistem ekonomi dan politik Indonesia yang telah coba ditutupi selama 32 tahun oleh rezim Orde Baru. Pertumbuhan pesat ekonomi dan kestabilan politik telah mempesona kita maupun bangsa-bangsa lain sehingga membutakan mata betapa ekonomi dan politik kita dibangun di atas fondasi yang sangat rapuh dan korup.

Juni 1997, rupiah terserang badai dolar setelah baht Thailand rontok. Dalam 6 bulan ekonomi kita jatuh. Memasuki Desember 2007 nilai rupiah anjlok ke Rp 5.000 per US$. Kita ibarat naik jet coaster yang sedang meluncur turun tak terkendali. Dalam waktu tiga tahun, Indonesia berubah dari Emerging Tiger menjadi New Beggar, dari negara berpenghasilan menengah (US$1.050 per kapita) menjadi negara miskin (US$400 per kapita).

Selama 1998-1999 pemerintah berusaha menahan agar Indonesia tidak terempas ke dasar laut krisis. Pemilu demokratis 1999 menghasilkan pemerintahan baru. Namun, sepanjang 1999-2001, kebijakan-kebijakan pembangunan boleh dibilang tak menghasilkan kemajuan. Pemulihan ekonomi tidak kunjung berjalan di jalur yang benar. KKN (Korupsi, Kolusi, & Nepotisme) menjadi tantangan terbesar bagi pemerintah untuk diberantas. Bahkan, kondisi korupsi era Reformasi sudah sedemikian rupa sehingga Presiden Abdurrahman Wahid saat itu mempunyai anekdot tentang ini:

Di zaman Orde Lama, korupsi dilakukan di bawah meja. Di zaman Orde Baru korupsi dilakukan di atas meja. Di zaman Reformasi hari ini, mejanya pun ikut dikorupsi.”

Pergantian presiden terjadi pada 2001. Wapres Megawati naik menjadi presiden. Namun, sepanjang 2001-2004, sementara negara-negara lain yang terlanda krisis moneter seperti Korea, Hong Kong dan Thailand sudah pulih, Indonesia masih terpuruk.

Lagi-lagi sebabnya korupsi. Pada 2002, Kepala Bappenas Kwik Kian Gie mengungkap kondisi mencemaskan korupsi kita. Perkiraan kekayaan negara yang dikorup per tahun (2002-2003) mencapai Rp 444 triliun. Wabah KKN di Indonesia menonjol di lingkungan PNS, parpol, Polri, dan Militer dalam bentuk suap, pemerasan halus, manipulasi, money politics, dan kolusi bisnis. Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch (2003) bahkan menyebutkan penyuap di Indonesia lebih kuat dari yang disuap. Sementara Kwik Kian Gie (2003) mengatakan, "bangsa Indonesia hancur karena kolaborasi konglomerat (elit pengusaha) dengan elit kekuasaan".

Profesor Toshiko Kinoshita, Guru Besar Universitas Waseda, Jepang yang diperbantukan pemerintah Jepang kepada Presiden Megawati bahkan menyimpulkan bahwa korupsi adalah “bagian hidup” masyarakat Indonesia. Katanya, “Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berpikir jangka panjang. Ciri ini tidak hanya terlihat di kalangan masyarakat lapisan-bawah, tapi juga kaum politisi dan pejabat pemerintahannya” (Kompas, 2 April 2002).

Hingga saat ini, Indonesia masih menduduki posisi memprihatinkan dalam hal korupsi. Sejak 1998, skor indeks persepsi anti-korupsi Indonesia yang dikeluarkan oleh Transparency International berada pada posisi yang rendah. Kita bahkan hampir selalu berada di posisi “juara” negara paling korup. Korupsi menyebabkan ekonomi biaya-tinggi, politik yang tidak sehat, dan kemerosotan moral. Ia juga menyebabkan mutu pembangunan manusia Indonesia berada di peringkat 111, setingkat di atas Vietnam, tetapi jauh di bawah negara-negara tetangga di Asia Tenggara, bahkan di bawah Srilanka (96) (UNDP, 2004).

Korupsi juga mengakibatkan negara kita mempunyai daya saing rendah, bahkan dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara dan Selatan. Laporan World Competitiveness Report 2005 menunjukkan, dari 60 negara yang disurvei, Indonesia berada pada peringkat 59 (setingkat di atas Venezuela).

KKN & Kerusakan Poleksosbud

Korupsi bukan saja merampas hak-hak publik, tetapi juga merusak sistem perekonomian, sendi-sendi politik, hubungan sosial, dan cara berpikir. Contohnya, dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) pernah dikabarkan “menguap” sekitar Rp 10 triliun. Bila itu memang terjadi, betapa publik telah kehilangan haknya atas dana sebanyak itu.

Dana JPS itu seharusnya diperuntukkan bagi orang-orang tidak mampu. Dana itu bertujuan untuk membuat rakyat miskin tertolong untuk membeli makanan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Dengan hilangnya dana itu, hilang kesempatan bagi anak-anak untuk mengenyam pendidikan, mengonsumsi makanan bergizi, dan mendapatkan perawatan kesehatan.

Padahal, pendidikan merupakan investasi jangka panjang bagi sebuah negara. Makanan bergizi bertujuan membuat generasi penerus hidup sehat dan bisa menjalankan tugas-tugas sehari-hari. Bantuan perawatan kesehatan juga bisa membuat warga miskin menjadi hidup lebih sehat dan selanjutnya memiliki produktivitas dalam berusaha.

Namun, karena mereka tidak mendapatkan haknya itu, salah satu kerugian pada perekonomian telah terjadi, yakni hilangnya potensi produktivitas, hilangnya kesempatan bagi generasi penerus yang sehat untuk memberi kontribusi pada perekonomian. Dan, yang terburuk, hal itu bisa menghasilkan sebuah generasi yang hilang.

Menurut Kwik Kian Gie, kerusakan oleh korupsi tidak lagi terbatas pada perekonomian. Ia sudah menjelma menjadi kerusakan pemikiran, perasaan, moral, mental, dan akhlak yang selanjutnya membuahkan kebijakan-kebijakan politik yang sangat tidak masuk akal (Kompas, 25 Oktober 2003). Kebijakan-kebijakan itu tidak berpihak kepada rakyat, dan memunculkan ketidakadilan dan kesenjangan yang besar antara kaum kaya dengan kaum miskin. Contoh nyata dari ini adalah bahwa kekayaan alam Indonesia yang seharusnya bisa dimanfaatkan seluruh rakyat Indonesia hanya dinikmati segelintir orang karena korupsi.

Negara ini dikaruniai kekayaan sumberdaya hutan dan menjadikannya negara produsen kayu terbesar di dunia. Namun, Indonesia kini dihadapkan pada kenyataan hutan yang gundul karena dana reboisasi (DR) yang praktis hanya Rp 10 triliun dikorup. Hilanglah sebuah hutan yang lestari akibat korupsi DR.

Walaupun telah gundul, masih saja terjadi penebangan liar yang hasilnya diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 miliar dollar AS. Sumberdaya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dan manfaatnya yang terbesar jatuh kepada kontraktor asing dan kroni Indonesia. Rakyat pemilik kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh manfaat yang sangat minimal.

Contoh lain penjarahan ekonomi adalah pencurian ikan di perairan Indonesia oleh kapal-kapal asing. Nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 miliar dollar AS. Pasir Indonesia juga dicuri, dengan nilai yang hilang minimal sekitar 3 miliar dollar AS.

Sektor ekonomi yang juga dilanda korupsi besar-besaran adalah perbankan. Bank-bank kita digerogoti oleh para pemiliknya sendiri. Uang masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank dalam negeri dipakai sendiri oleh para pemilik bank untuk mendanai pembentukan konglomerat lewat pola mark-up (menggelembungkan nilai proyek).

Dari segi angka-angka, korupsi di Indonesia cukup dahsyat dampaknya. Dampak korupsi terhadap anggaran negara sangat bisa dilihat dengan jelas. Di satu sisi Indonesia memiliki tumpukan utang besar. Utang dalam negeri pemerintah saja mencapai Rp 700 triliun. Utang luar negeri mencapai 76 miliar dollar AS. Namun, di sisi lain, sumberdaya alam yang seharusnya bisa membuat Indonesia terhindar dari utang tidak dimanfaatkan.

Meski sudah punya tumpukan utang, Indonesia masih harus mengais utang sebesar 3 miliar dollar AS per tahun, antara lain untuk menutupi arus uang yang harus mengalir untuk membayar bunga dan cicilan utang luar negeri.

Terakhir, KKN juga telah merusak hubungan sosial. Orang-orang dan lembaga-lembaga masyarakat saling mencurigai secara luas. Seolah tidak ada celah lagi di masyarakat kita untuk membangun silaturahmi dengan hati bersih dan tulus. Rasanya kita telah kehilangan salah satu modal dasar masyarakat beradab, yaitu rasa saling percaya.

Kemiskinan

Akibat langsung terparah dari krisis multidimensi sejak 1997 adalah pertambahan jumlah penduduk miskin. Kalau pada tahun 1996 persentase penduduk miskin adalah 12%, setelah krisis jumlah penduduk miskin naik menjadi lebih dari 30% pada 1998.

Kemiskinan yang kita alami kian mengerikan. Data Bank Dunia November 2006 menyebutkan, kemiskinan di Indonesia 149 juta jiwa dari total penduduk Indonesia 220 juta jiwa. Selain itu ada indikator lain dari kemiskinan yang bisa digunakan, yaitu indeks kesenjangan kemiskinan (poverty gap index) dan indeks keparahan kemiskinan. Setelah krisis, bangsa kita mengalami lonjakan tingkat keparahan kemiskinan, yaitu lebih dari 4 kali lipat di kawasan pedesaan, dan kurang dari 1,5 kali lipat di perkotaan. Sementara angka kesenjangan kemiskinan di pedesaan naik 1,5 kali, dan di perkotaan agak lebih tinggi. Dus, krisis ekonomi telah memperdalam dan memperparah kemiskinan.

Masyarakat kita bukannya belum melakukan apa-apa untuk memperbaiki kondisi-kondisi memprihatinkan seperti di atas. Sebaliknya, telah sangat banyak yang dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat kita untuk memberi sumbangsih pada perkembangan masyarakat yang adil dan makmur. Aktivisme—yaitu aksi atau gerakan untuk mengadakan perubahan sosial atau politik dengan mempengaruhi penduduk atau pemerintah—yang marak dalam era Reformasi ini membuktikan hal itu.

Ada Gerakan Disiplin Nasional, Gerakan jalan lurus lintas pakar dan agama, gerakan antisuap KADIN, atau koalisi Nahdlatul Ulama dengan Muhammadiyah dalam membangun good governance termasuk mencegah KKN sebagai tindakan fasad (merusak tatanan semesta).

Bahkan, Bappenas melalui kajian ilmiah menawarkan 14 prinsip pembangunan yang representatif: 1. Visioner; 2. Transparan; 3. Responsif; 4. Akuntabel; 5. Profesionalitas; 6. Efisien dan Efektif; 7. Desentralisasi; 8. Demokratis dan berorientasi pada Konsensus; 9. Parsitipatif; 10. Kemitraan; 11. Supremasi Hukum; 12. Pengurangan kesenjangan; 13. Komitmen pada pasar;14. Komitmen pada lingkungan hidup.

Namun, meski aksi-aksi, strategi-strategi, dan prinsip-prinsip tersebut baik dan positif dalam menciptakan good governance, mereka bukanlah solusi terhadap akar permasalahan bangsa. Ibarat suatu penyakit, mereka hanya menghilangkan gejala-gejalanya yang tampak, tetapi sama sekali tidak menyentuh akar penyakitnya. Dengan pendekatan pengobatan-gejala semacam itu, setelah gejala-gejala itu hilang, penyakit itu bisa kambuh dan memunculkan gejala-gejala yang sama itu jika kondisi-kondisi yang memicu kambuhnya penyakit itu pada awalnya tercapai.

Jadi, yang bangsa kita butuhkan saat ini adalah solusi super, solusi yang memecahkan akar permasalahan bangsa, bukan hanya yang meredam sementara gejala-gejala yang terdeteksi dari akar masalah itu. Baru di dalam bingkai solusi super inilah, semua aktivisme dan solusi yang lebih rendah seperti di atas akan efektif.

Solusi Supernya: Perampingan & Reformasi Pemerintahan

Tesis dari buku ini ada dua: (1) Kebanyakan masalah sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan berbangsa yang kita hadapi saat ini berakar pada apa yang diistilahkan sebagai Big Government; (2) Cara kita memerintah mencerminkan cara kita menghasilkan kekayaan.


Big Government adalah istilah peyoratif (berkonotasi jelek) untuk menggambarkan suatu pemerintah yang terlalu besar, korup dan tidak efisien, atau yang secara tidak semestinya mencampuri aspek-aspek kehidupan yang dipandang sebagai bersifat pribadi atau dalam area privat, seperti keimanan, ibadah keagamaan, perilaku seks, atau internal organisasi.

Big Government juga mengacu kepada program-program pemerintah di mana tujuan-tujuan kebijakan sebenarnya bisa dicapai dengan organisasi-organisasi yang lebih kecil dan lebih gesit; usaha-usaha untuk menasionalisasi program-program yang tradisinya dilaksanakan di tingkat lokal; melaksanakan program-program yang berusaha menjalankan fungsi-fungsi yang wajarnya terkait dengan sektor swasta atau organisasi-organisasi swasta (seperti kelompok-kelompok nirlaba atau organisasi-organisasi keagamaan); program-program mahal yang cenderung naik biaya-biayanya dalam jangka panjang karena analisis biaya yang buruk; resistensi terhadap upaya-upaya reformasi baik secara internal maupun eksternal; birokrasi-birokrasi besar yang kurang dalam akuntabilitas atau pertanggungjawaban; sedikit atau tak ada pengendalian dan perimbangan atas kekuasaan di dalam organisasi; faedah-faedah nyata yang terbatas yang diberikan kepada para warga; dan tidak efektif biaya (manfaat lebih kecil daripada biaya-biaya).

Sebagaimana gejala obesitas atau kegemukan pada orang yang sering berarti buruk, Pemerintah Besar adalah suatu keburukan. Justru ukuran atau struktur mereka yang besarlah yang menyimpangkan mereka dari memenuhi amanat itu.

Mengapa akar dari kebanyakan permasalahan bangsa terletak dalam pemerintahan besar?

Jawabnya adalah karena pemerintahan merupakan sektor kebaktian terpenting dari masyarakat manusia. Jauh sebelum sektor swasta dan nirlaba muncul dan berkembang, sektor publik berfungsi sendirian untuk membina sebuah masyarakat yang baik. Masyarakat manusia pertama yang beradab di Bumi ini lahir setelah munculnya pemerintahan primitif pertama yang diemban oleh Adam, nabi pertama yang diutus Tuhan ke dunia ini. Tanpa kebangkitan Adam sebagai pemerintah pertama, dunia manusia saat ini tidak akan banyak berbeda dengan dunia fauna!

Demikian mendasarnya keberadaan pemerintah dalam masyarakat manusia, sehingga setelah lebih dari 6.000 tahun umat manusia mengenal konsep masyarakat yang tertib atas dasar hukum dan merasakan faedah-faedah hidup sebagai masyarakat tertib, sebagian besar dari kita secara naluriah percaya bahwa pemerintah yang otoriter, bahkan zalim, masih lebih baik daripada tidak ada pemerintah sama sekali (alias anarki)!

Tetapi, itu tentu sama sekali bukan alasan pembenar untuk menenggang atau membiarkan pemerintah-pemerintah otoriter yang menguasai kebanyakan politik abad ke-20, dan pemerintah-pemerintah demokratis namun besar dan korup yang berlaku masa ini. Itu hanya berarti bahwa kita perlu mengadakan perubahan sosial, ekonomi dan politik secara damai tanpa anarki, yaitu melalui dialog-dialog dan seruan-seruan yang santun dan penuh hikmah kepada kebaikan.

Mengapa pemerintah harus direformasi dan dirampingkan secara drastis?

Pasangan cendekiawan Alvin dan Heidi Toffler menyatakan bahwa peradaban dunia telah mengalami tiga gelombang perubahan atau revolusi. Revolusi pertanian lebih dari 10.000 tahun lalu meluncurkan gelombang pertama perubahan dalam sejarah manusia; revolusi industri 300 tahun lalu memicu gelombang kedua perubahan; dan hari ini kita telah merasakan dampak gelombang ketiga perubahan.

Tiap gelombang perubahan membawa serta sejenis peradaban baru. Hari ini, kita telah menemukan suatu peradaban Gelombang Ketiga revolusioner dengan ekonominya sendiri, bentuk-bentuk keluarganya, medianya, dan politiknya sendiri.

Peradaban Gelombang Kesatu terkait dengan tanah. Ia adalah produk dari revolusi pertanian. Hari ini saja masih banyak orang hidup dan mati dalam masyarakat-masyarakat pramodern agraris, menggarap tanah seperti dilakukan nenek moyang mereka ratusan tahun silam.

Peradaban Gelombang Kedua berawal sekitar 300 tahun lalu ketika sains Newton pertama bangkit dan mengubah secara mendasar kehidupan banyak orang. Saat itu mesin uap pertama digunakan secara ekonomis dan pabrik-pabrik pertama mulai bermunculan di Inggris, Perancis, dan Italia. Rakyat jelata mulai pindah ke kota-kota. Ide-ide baru yang berani mulai beredar—ide kemajuan; doktrin hak-hak individu; pemikiran tentang kontrak sosial; sekularisme; pemisahan agama dan negara; dan ide baru bahwa para pemimpin perlu dipilih oleh kehendak rakyat, bukan hak dari langit.

Yang menggerakkan banyak perubahan ini adalah suatu cara baru menciptakan kekayaan—produksi pabrik. Dan sebentar kemudian banyak elemen berkumpul membentuk suatu sistem: produksi massa, konsumsi massa, pendidikan massa, media massa semua dipadukan dan dilayani oleh lembaga-lembaga terkhusus—sekolah-sekolah, perseroan-perseroan, dan partai-partai politik. Bahkan struktur keluarga berubah dari rumahtangga besar gaya-agraris di mana beberapa generasi hidup bersama ke keluarga inti kecil yang khas dari masyarakat industri.

Kemudian, ekonomi Gelombang Ketiga lahir di Amerika Serikat pada 1956 ketika jumlah pegawai kerah-putih dan jasa untuk kali pertama melebihi jumlah pekerja pabrik kerah-biru—suatu pertanda awal bahwa ekonomi “cerobong-asap” Gelombang Kedua sedang memudar.

Tak lama kemudian beberapa futuris dan ekonom perintis mulai menelusuri pertumbuhan intensivitas-pengetahuan dalam ekonomi AS dan mencoba mengantisipasi dampak jangka-panjangnya. Pada 1961 IBM meminta seorang konsultan untuk menyusun suatu laporan tentang dampak-dampak sosial dan organisasi jangka-panjang dari otomasi kerah-putih (banyak dari kesimpulan-kesimpulannya masih valid hari ini). Pada 1962 ekonom Fritz Machlup menerbitkan kajian terobosannya, The Production and Distribution of Knowledge ini the United States.

Pada 1968, AT&T, saat itu perseroan swasta terbesar dunia, memerintahkan suatu studi untuk membantunya menentukan ulang misinya. Pada 1972, sepuluh tahun sebelum ia dipecah-pecah oleh pemerintah AS, ia menerima laporan itu—sebuah dokumen ‘nyleneh’ yang mendesak perusahaan itu untuk merestrukturisasi diri secara drastis dan untuk memecah diri.

Laporan itu menguraikan cara-cara sebuah birokrasi raksasa gaya-industri Gelombang Kedua bisa mengubah dirinya menjadi sebuah organisasi yang lincah dan bergerak-cepat. Tetapi AT&T menahan laporan itu selama 3 tahun sebelum membolehkannya beredar dalam manajemen puncak. Kebanyakan perusahaan besar Amerika ketika itu belum mulai berpikir melebihi reorganisasi berangsur. Pemikiran bahwa bedah radikal akan mereka butuhkan untuk bertahan hidup dalam ekonomi berbasis-pengetahuan yang akan muncul nampak dibesar-besarkan. Namun Gelombang Ketiga segera menghempaskan banyak organisasi terbesar dunia ke dalam restrukturisasi paling menyakitkan dalam sejarah mereka.

Dus banyak perusahaan raksasa Amerika saat itu mulai mencari-cari misi-misi baru dan struktur-struktur organisasi baru. Sederetan doktrin manajemen baru muncul seiring metode menciptakan kekayaan berubah.

Seperti IBM abad-20, pemerintah-pemerintah di Indonesia (mulai tingkat kota/kabupaten sampai pusat) hampir sempurna diorganisir bagi sebuah dunia Gelombang Kedua. Seperti perseroan ini, mereka dirancang untuk operasi-operasi terkonsentrasi, masal, dan linier dari atas ke bawah.

Permasalahan sosial, ekonomi dan politik yang kita alami khususnya sejak Krisis Multidimensi 1997 menghendaki perubahan dari pemerintahan birokratis ke pemerintahan ramping dan entrepreneurial (berjiwa wirausaha). Birokrasi Indonesia saat ini, yang cocok bagi era industri dan zaman krisis ekonomi dan militer abad ke-20 silam di mana ia diciptakan, bukanlah sistem pemerintahan terbaik bagi zaman informasi pasca-industri abad ke-21 ini.

Selama awal zaman Orde Baru, bangsa ini menginginkan stabilitas dan keamanan dari pemerintah. Bangsa ini juga menginginkan regulasi pemerintah untuk mencegah korupsi. Birokrasi hirarkis kaku yang terbangun memberikan stabilitas dan kendali ini. Karena kepentingan-kepentingan bangsa masih cukup seragam, dan tekanannya adalah pada stabilitas dibandingkan kualitas, sistem ini cukup manjur. Namun, dengan berfokus pada meregulasi prosesnya, birokrasi melupakan hasil-hasilnya, dan dengan membuatnya sulit untuk mencuri uang rakyat, ia juga menjadi sulit untuk mengelola uang rakyat.

Kualitas dan pilihan bukanlah yang sistem birokratis dirancang untuk sediakan. Efisiensi juga mustahil dalam suatu sistem peraturan yang rumit dan pengambilan putusan yang bertele-tele.

Sektor-sektor berbeda dari ekonomi (publik, swasta, dan nirlaba) akan menyediakan barang dan jasa yang terbaik dihasilkan masing-masing sistem secara terpisah atau sebagai upaya kolektif (Osborne dan Gaebler, 1992). Karena lingkup dan kapasitasnya luas dan ia bekerja secara demokratis (yaitu dari, oleh dan untuk rakyat), pemerintah paling baik berperan memberikan kebijakan, keadilan sosial, arah ekonomi, dan mencegah diskriminasi. Karena keluwesan pasar dan kekuatan-kekuatan persaingan, sektor swasta paling baik menyediakan barang-barang dan jasa-jasa bermutu serta pilihan-pilihan kepada konsumen. Sektor nirlaba atau “sukarela” terbaik menyediakan layanan-layanan kemanusiaan dan barang-barang yang tidak menghasilkan laba karena skala yang umumnya kecil dan fokus lokal dari organisasi-organisasi nirlaba.

Dengan kata lain, “membina,” atau memberikan panduan dan arahan, adalah yang terbaik dilakukan pemerintah, sedangkan “mengerjakan,” atau menghasilkan barang dan jasa, paling baik disediakan oleh sektor swasta atau nirlaba. Tiga sektor ini bisa bekerjasama dengan cara-cara inovatif untuk menyediakan lebih banyak bagi para warga dengan biaya lebih rendah.

Langkah pertama menuju reformasi birokrasi adalah pemerintah menyadari kewajiban-kewajibannya sebagaimana dijelaskan oleh Islam, yaitu menciptakan suatu masyarakat yang keadaan-keadaannya sedemikian rupa sehingga bisa disebut sebagai ‘surga’. Selanjutnya, pemerintah harus melakukan reorganisasi dan restrukturisasi (yang sampai derajat tertentu mengharuskan pemutusan hubungan kerja masal para pegawainya) menyesuaikan dengan peluang-peluang dan ancaman-ancaman yang ditawarkan oleh Gelombang Ketiga. Kemudian, pemerintah harus bekerja sekeras dan secerdas mungkin, memanfaatkan segala sumberdaya dan ilmu pengetahuan yang tersedia padanya atau dalam kekuasaannya, untuk mencapai misinya, dengan sementara mengabaikan kesenangannya sendiri. Seluruh perhatian dan pengabdian harus diarahkan dan difokuskan pada pencapaian misi itu, serta seluruh struktur dan dinamika organisasi harus disesuaikan menjadi yang optimal untuk mencapai misi itu.

Untuk membantu masyarakat dalam mereformasi pemerintahanlah buku ini ditulis. Tujuan buku ini adalah untuk meyakinkan anda bahwa Big Government adalah musuh bagi kesejahteraan bangsa, dan Pemerintah Kecil yang efektif adalah solusi super terhadap permasalahan bangsa.

Bab pertama, “Harmoni Semesta,” memperkenalkan suatu paradigma bagi Sains Baru yang saya namakan Harmoni Semesta (HS). Dengan tiga doktrin yang membentuk paradigma ini, kita bisa memahami hakikat alam semesta dengan mempelajari realitas-realitasnya, dan sebaliknya kita bisa menemukan realitas-realitas alam semesta dengan memahami hakikatnya. Dari perspektif HS kita mengerti bahwa sektor publik (yang mencakup pemerintah) memiliki peran utama dalam proses evolusi semesta karena ia berfungsi menciptakan dan menjaga alur bagi tiga sektor lainnya, serta memberikan pelayanan kemanusiaan.

Bab 2, “Islam Tentang Kehidupan Bermasyarakat,” menjelaskan bahwa, karena manusia diciptakan untuk hidup dalam masyarakat di mana pemerintah menjadi intinya, agama haruslah menyediakan kaidah-kaidah dasar yang diperlukan untuk membina masyarakat, khususnya prinsip-prinsip pemerintahan.

Kita kini sadar bahwa warisan unik kita—kesadaran reflektif bahwa kita selamanya ditakdirkan untuk menjadi mahkota makhluk—membawa bersamanya suatu tanggung jawab besar. Kita sadar bahwa berada di garis depan evolusi di planet ini berarti kita bisa mengarahkan energi kehidupan kita menuju pencapaian pertumbuhan dan harmoni atau menyia-nyiakan potensi-potensi yang telah kita warisi, yang menambah pada kekacauan dan kerusakan. Satu hasil dari merenungkan evolusi adalah bahwa kita belajar untuk menganggap masa lalu secara sangat serius. Natura non fecit saltum, kata bangsa Romawi: Alam tidak maju dengan langkah pesat dan besar. Apa kita hari ini adalah hasil dari gaya-gaya yang bekerja atas nenek moyang kita ribuan tahun lalu, dan akan menjadi apa umat manusia pada masa depan akan bergantung pada pilihan-pilihan kita saat ini. Sejarah kebangkitan dan kemunduran Big Government sejak Abad Pertengahan sampai akhir abad ke-20 dibahas dalam Bab 3, 4 dan 5, “Darah di Jalanan,” “Megapolitik dan Resesi” dan “Bagaimana Gereja Menguasai Agama.”

Kita saat ini hidup dalam zaman yang penuh gejolak, melebihi apa pun yang pernah terjadi dalam sejarah. Para ilmuwan mengatakan bahwa dunia telah bergeser memasuki Gelombang Ketiga atau, lebih tepatnya, “Dimensi Keempat” (meminjam istilah ekonom William Knoke). Kemunculan sebuah dimensi baru mengubah pertama sekali kaidah-kaidah penciptaan kekayaan (alias hukum ekonomi). Karena cara kita memerintah mencerminkan cara kita menciptakan kekayaan, untuk mengetahui pemerintah macam apa yang disukai masa ini, kita perlu mengetahui apa persisnya Dimensi Keempat itu. Bab 6, “Dimensi Keempat,” memperkenalkan pergeseran mendasar dari sebuah asumsi sosial yang di atasnya peradaban dunia telah dibangun selama ini, dan dampak-dampaknya pada penciptaan kekayaan.

Tiga bab selanjutnya, “Masyarakat Tak Bertempat, “ “Kemunduran Negara-Bangsa, “ dan “Organisasi Amuba,” berturut-turut menjelaskan perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang dibawa oleh Dimensi Keempat yang mungkin paling erat terkait dengan tema reformasi birokrasi dari buku ini. Perubahan-perubahan ini membentuk lingkungan baru, baik nasional maupun global, bagi pemerintah baru.

Implikasi terbesar dari prinsip ‘Cara kita memerintah mencerminkan cara kita menghasilkan kekayaan’ adalah pada organisasi. Ia mencakup struktur, dinamika atau proses, sumberdaya dsb. Jadi, prinsip itu hakikatnya berarti bahwa organisasi pemerintah mencerminkan organisasi bisnis. Sebelum kita bisa menciptakan organisasi pemerintah Dimensi Keempat, kita perlu memahami ciri-ciri dari organisasi bisnis yang disukai Dimensi Keempat. Bab 10 “Cara Kita Menciptakan Kekayaan” membahas sepuluh ciri utama organisasi ekonomi Dimensi Keempat

Bab 11, “Pemerintah Dimensi Keempat,” mencoba menjelaskan format, struktur, dan dinamika dari pemerintah baru sejajar dengan sepuluh ciri ekonomi Dimensi Keempat.

Bab 12, “Pendidikan Dimensi Keempat,” berusaha meyakinkan anda bahwa pendidikan adalah fungsi pemerintah yang terpenting dan paling mendesak untuk dikenai pisau-bedah reformasi dan perampingan jika bangsa kita ingin selamat menjalani kehidupan di milenium ini. Bab ini memberi saran-saran praktis bagaimana pemerintah bisa menyediakan pendidikan berkualitas memanfaatkan teknologi-teknologi dan realitas-realitas baru dari zaman pasca-industri.

Mau tidak mau, suka tidak suka, sukarela atau terpaksa, pemerintah-pemerintah dunia akan kembali menyadari kewajiban-kewajiban politik sejati mereka sebagaimana diajarkan oleh Allah Taala. Bagi penguasa yang mau dan sukarela mengadakan perubahan suci ini, keselamatan adalah akhir mereka.

Namun, bagi pemimpin yang abai dan tidak berusaha menengadahkan kepalanya ke langit memohon pertolongan dan kekuatan dari Tuhan, bencana-bencana alam berskala-luas, bahkan nasional (gempa bumi, tsunami, banjir, wabah penyakit, dsb.), dan konflik-konflik berbau SARA (suku, antargolongan, ras, agama), yang bisa menghancurkan sendi-sendi peradaban yang telah mereka bangun, akan melibas mereka dan memaksa para penerus mereka untuk berubah.

Tidak ada komentar: